Bicara Patriarki
Bicara masalah kesetaraan gender tidak lepas dari pembahasan mengenai patriarki dan feminisme, namun karena feminisme sudah kita bahas beberapa minggu lalu, maka saatnya membicarakan patriarki.
Pada zaman saya SMA dulu patriarki atau patrilineal hanya dijelaskan sebagai garis keturunan dari ayah, misalnya orang Batak yang disetiap nama belakangnya selalu punya nama yang sama dengan ayah yang biasa kita sebut dengan istilah marga dan untuk orang padang disebut dengan matriarki atau matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan ibu. Dari penjelasan di atas tampaknya tidak ada masalah yang sangat mengganggu.
Namun semakin dewasa semakin banyak tindakan-tindakan yang membuat saya bertanya mengapa perempuan harus begini dan mengapa laki-laki harus begitu? Contohnya saat makan bersama keluarga, laki-laki siap sedia dengan masakan yang ada kalau tidak suka tinggal protes. Sebelum makan perempuan yang masak, saat makan perempuan yang mempersiapkan segalanya di atas meja makan, bahkan untuk nasi saja perempuan yang megambilkan untuk laki-laki, dan selesai makan perempuan lagi yang harus membereskan dan memcucinya. Menurut saya ini mengganggu, karena seolah-olah laki-laki ini seperti raja yang harus dilayani segala tingkah lakunya dengan alasan karena laki-laki yang mencari nafkah, padahal perempuan juga bisa cari makan sendiri. Namun jarang suami yang memperbolehkan istrinya untuk mencari uang, mungkin takut kenikmatan pelayanan seperti biasanya akan hilang.
Ternyata sistem patriarki gak semudah pemahaman saat SMA, jadi patriarki itu apa sih?
Jadi patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hal sosial dan penguasaan property. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut sebagai ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. (Wikipedia).
Patriarki punya segudang masalah yang selalu ditutup-tutupi atau disembunyikan. Mengapa? Tentu saja karena ada pihak-pihak yang tidak ingin keuntungan yang sudah diperoleh selama ini hilang begitu saja. Masalah patriarki gak cuma selebar meja makan saja, di tempat kerja, di lingkungan masayarakat, di instansi pendidikan dan diseluruh aspek kehidupan patriarki punya peran penting untuk menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lainnya.
Patriarki gak cuma merugikan kaum perempuan saja, tetapi laki-laki juga dirugikan. Anggapan bahwa laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan membuat stereotype laki-laki itu harus kuat, tegas, harus bisa mengayomi dan melindungi gender dibawahnya yaitu perempuan, laki-laki tidak boleh menangis dan lemah serta batasan-batasan lainnya yang dibentuk oleh masyarakat patriarkis. Sehingga apabila di masyarakat terdapat laki-laki yang tidak sesuai dengan konstruksi tersebut dianggap bukan ‘laki-laki’ atau dianggap bencong. “Laki-laki gak boleh cengeng kayak perempuan” “masak gitu aja gak kuat katanya laki-laki” “laki-laki harus jadi pemimpin”. Kalau laki-laki gak seperti konstruksi yang masyarakat mau, siap-siap aja laki-laki akan dikucilkan dan dianggap “banci” oleh masyarakat, bahkan parahnya pembulian akan terus terjadi dan meerusak mental seseorang.
Padahal untuk menjadi laki-laki tidak harus kuat tapi harus punya alat kelamin laki-laki. Sudah sesederhana itu. Kalau laki-laki mudah menangis bukan berarti dia perempuan, karena menangis adalah sebuah respon dari apa yang dirasakan seseorang baik itu rasa sakit, terharu maupun sedih, bukan karena perasaan menangis ini hanya dimiliki oleh perempuan saja. Laki-laki yang tidak punya jiwa pemimpin tidak harus merasa malu jika memang perempuan yang lebih layak untuk memberikan arahan yang lebih baik untuk anggotanya, karena syarat menjadi pemimpin seharusnya adalah cerdas, punya jaringan yang luas, mengerti situasi dan solusi yang harus dilakukan bukan hanya berpatokan pada gender laki-laki saja.
Perempuan juga tidak luput dari stereotype “harus melayani” laki-laki, sehingga membuat perempuan selalu berada dibawah bayang-bayang laki-laki. Perempuan dianggap menyalahi kodrat kalau perempuan itu tidak bisa memasak dan bersih-bersih rumah, padahal seharusnya memasak dan bersih-bersih rumah itu adalah basic life skill yang harus dimiliki semua orang dan bukan peran gender perempuan. Perempuan diolok-olok kalau mau mengejar karir dan pendidikannya, katanya perempuan gak perlu sekolah tinggi-tinggi karena katanya perempuan itu tempatnya di dapur, sumur dan kasur, lagi-lagi gak jauh sama kata “melayani” karena pemiliki tahta tertinggi yaa hanya laki-laki, jadi perempuan tidak perlu usaha untuk memiliki lebih dari yang seharusnya dimiliki.
Perempuan juga diharuskan untuk memakai pakaian yang tidak mengundang nafsu laki-laki, ini memang benar namun kenapa harus perempuan yang menjaga laki-laki supaya tidak jelalatan? Mengapa laki-laki tidak diajarkan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga nafsunya? Karena patriarki selalu mendewakan laki-laki.
Banyak sekali kekerasan berbasis gender ini terjadi karena adanya anggapan yang tidak sesuai dengan konstruksi masyarakat. Contohnya seperti perempuan yang oleh masyarakat harus melayani dan tempatnya adalah di rumah, ketika memutuskan untuk bekerja dan diharuskan untuk pulang malam, maka akan timbul anggapan bahwa perempuan ini termasuk perempuan yang nakal dan akan menjadi korban pelecehan seksual oleh laki-laki, dan pelecehan dianggap wajar karena perempuannya dianggap memancing si kucing garong ini untuk menerkamnya karena perempuannya keluar rumah di malam hari. Lihat betapa patriarkinya masyarakat kita, bahkan bukannya mensuport dan menyembuhkan fisik serta mental korban pelecehan, kita malah mewajarkan hal itu bisa terjadi karena ulah perempuannya. Begitupun dengan laki-laki yang memiliki perawakan tidak layaknya laki-laki, tidak macho dan gemulai dianggap sebagai golongan yang menyimpang dan akan didiskriminasi oleh masyarakat, seperti akan mudah untuk dilecehkan atau tidak akan diterima di tempat kerja bahkan diasingkan di instansi pendidikan.
Patriarki memberikan batasan terhadap semua gender, memberikan stigma negatif kalau gendernya tidak sesuai dengan konstruksi yang dibangun oleh masyarakat sendiri. Patriarki yang mengistimewakan laki-laki ini juga membuat laki-laki merasa memiliki, mendominasi serta mampu memengaruhi segala aspek termasuk tubuh perempuan, maka tidak jarang kita temukan abang-abang di jalan yang dengan senang hati dan tanpa rasa malunya menyuruh kita untuk tersenyum dengannya, untuk terlihat ramah dan baik, yaa karena ada pelabelan pada perempuan yang diberikan masyarakat patriarki bahwa perempuan harus melayani laki-laki, karena laki-laki lebih tinggi dan lebih istimewa dari perempuan.
Kalau laki-laki itu tegas, akan terlihat lebih macho dan disukai banyak orang. Tapi kalau perempuan yang tegas dibilang judes, sok berkuasa dan lainnya. Kalau laki-laki bantu perempuan membersihkan rumah dan mencuci dibilang banci dan kalau perempuan bekerja dinyinyirin “anak sama suami gimana di rumah?” “eh pantes aja anaknya nakal, orang emaknya sibuk nyari duit aja sih”.
Laki-laki mau bisa masak yaa monggo, mau jadi perancang busana yaa boleh, perempuan mau bisa karate yaa bagus, perempuan mau bekerja dan mandiri yaa silahkan. Kita tidak punya hak untuk mengomentari pilihan dan segala hal pribadi orang lain, ranah privat itu untuk dihargai bukan untuk diperdebatkan. Urusan mengurus anak yaa urusan suami istri bukan tugas istri saja karena toh buatnya juga berdua yaa susahnya mendidik dan merawat yaa seharusnya juga berdua. Tidak hanya perempuan yang harus bangun pagi dan memiliki sifat bersih, namun laki-laki juga tidak boleh bangun siang dan bersikap jorok.
Perempuan dan laki-laki harus memiliki akses yang sama dalam menentukan pilihan, seharusnya kita bisa terbebas dari budaya patriarki yang membatasi prestasi dan langkah kita untuk menjadi lebih baik. kalau laki-laki itu gemulai tapi bisa berprestasi, mengapa kita harus melihat dari sisi yang gemulainya dan tidak mendukung prestasinya? Kalau perempuan tidak bisa memasak tapi dia bisa membantu banyak orang yang terlantar, mengapa kita harus melihat dia sebagai perempuan yang tidak selayaknya perempuan hanya karena tidak bisa memasak?
Budaya patriarki banyak merugikan berbagai pihak baik perempuan maupun laki-laki yang dibatasi segala tindakannya, dan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial tanpa memandang gender diperlukan bantuan dari berbagai pihak. Kamu sudah siap untuk bahu-membahu membrantas patriarki dan mewujudkan kesetaraan gender?
Comments
Post a Comment