Atas Nama Perempuan
Semakin tumbuh menjadi dewasa, semakin saya merasakan kesulitan menjadi perempuan.
Kenapa?
Karena perkembangan tubuh yang banyak sekali menjadi perbincangan panas orang lain. Anatomi tubuh saya memang tidak sebegitunya untuk diperbincangkan, tapi yang pasti tubuh perempuan.
Anak SD di desa saya yang pertumbuhan lumayan pesat, dikatain sudah mentel hanya karena lekuk tubuhnya yang sudah mulai terlihat.
Adik-adik saya yang kebetulan memiliki tubuh lebih besar dari saya juga jadi bahan omongan orang, terutama kaum laki-laki.
"Eh si dia payudaranya gede banget yaak."
"Pantatnya montok euy, masih kecil juga udah menggoda, apalagi saat dewasa." Lalu mereka tertawa.
Gini yaa, masalah ketubuhan wanita memang menjadi topik yang selalu hangat. Namun pernahkah kalian yang sering ngomongin tubuh perempuan itu bertanya apa yang kami rasakan saat mulut kalian berbisik mengenai ketubuhan kami?
Perasaan takut, risih, khawatir selalu membuntuti perempuan yang memiliki tubuh yang berlekuk dan berisi dibagian tertentunya.
Apakah kalian merasa bahwa tubuh perempuan memang layak diperbincangkan?
Apakah ketakutan kami itu tidak penting bagi kalian?
Apakah kita harus terbiasa dengan ini semua?
Saya pikir tidak.
Kita semua perlu menghargai ciptaan Tuhan, seperti tubuh perempuan. Kalau tidak berTuhan, maka hargai perempuan sebagaimana menghargai manusia lainnya.
Yang perlu diingat adalah bahwa ketakutan, perasaan risih dan kekhawatiran kami ini patut dipertimbangkan sebelum mengomentari tubuh kami sebagai perempuan.
Selain tubuh, narasi lainnya yang buat kesal adalah ketika segala sesuatunya dispesifikasikan kepada perempuan.
"Kalau jadi perempuan itu jangan berkata kasar."
"Ih perempuan kok jorok."
"Perempuan seharusnya meningkatkan kualitas dirinya dengan akal dan juga prilakunya, bukan hanya dandan semata."
"Perempuan kerja terus, kapan nikahnya? Anak di rumah siapa yang ngurus?"
"Perempuan kok bangunnya siang."
Seringkan denger narasi begitu?
Yang jadi masalah adalah ketika mereka yang bukan perempuan merasa tidak apa-apa jika melakukan hal di atas. Toh gak akan ada yang nyinyirin kok.
"Wajar kamarnya jorok, namanya juga laki-laki."
Rasanya wajar kalau laki-laki bangunnya siang, jarang mandi, kerja terus gak ingat rumah, keluar malam, dan keistimewaan lainnya.
Oh kalian bukan termasuk laki-laki yang seperti itu? Yaa selamat, saya juga bukan sedang membicarakan kalian.
Baik perempuan atau laki-laki seharusnya bisa bangun pagi, bisa bersih-bersih dan punya pilihan mau menikah cepat atau lama, atau bahkan tidak menikah sama sekali. Seharusnya baik laki-laki dan perempuan sama-sama punya pilihan untuk bekerja atau di rumah saja. Tidak perlu nyinyir dan tidak perlu julid kalau ada perempuan udah hampir 30 belum menikah dan kalau ada laki-laki pinter masak dan rajin bersih-bersih.
Karena buat bisa kerja di area publik kita butuh keterampilan, kecerdasan dan modal sosial lainnya bukan menggunakan jakun.
Karena menyapu dan memasak juga tidak memerlukan rahim kan?
Oiya satu lagi, kalau ada laki-laki jago masak, bersih-bersih dan bangunnya pagi. Gak perlu puji dia sebagai laki-laki yang berbeda. Puji saja kerjaannya yang bagus, masakannya yang enak. Keahliannya itu didapat karena ia mau belajar, jadi pujiannya juga tidak perlu menyematkan jenis kelaminnya.
Comments
Post a Comment