Antologi Cerpen "Rezeki Untukku"
BERKAT MAMAK
Nurlaeli Rohmah
Semua ini berawal dari tiga tahun yang lalu, ketika aku berada pada tahap akhir Sekolah Menengah Atas. Sama seperti siswa lainnya yang sibuk dengan memikirkan masa depannya masing-masing, pun begitu denganku. Aku sangat ingin melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi lagi, tapi semua orang tahu bahwa untuk sampai di sana membutuhkan biaya yang tidak sedikit, membutuhkan perjuangan yang tidak sebentar dan membutuhkan banyak dukungan secara moral juga. Maka dari itu aku mulai memberanikan diri mendiskusikan hal ini kepada kedua orang tuaku.
“Yah, dari sekolah udah ada ditanyai siapa aja yang mau masuk perguruan tinggi untuk didata namanya dan bisa diurus dari sekolah,” ucapku pada Ayah yang sedang meneguk secangkir kopi.
“Kamu mau kuliah?” tanya Ayah.
“Mau.”
“Kuliah di mana? Jurusannya apa?” tanya Ayah lagi.
“Pengennya di Jogja, jurusannya belum tahu.”
“Jangan di luar Aceh, sekarang itu yang dibutuhkan pemuda-pemudi daerah.”
“Yaa kerjanya nanti di sana.”
“Siapa yang akan bantu kamu di sana? Kalau ada apa-apa gimana? Emang kamu bisa sendiri? Tahu gimana kota besar? Kalau Ayah sama Mamak mau jengukpun jauh. Dikiranya uang keluar gitu aja?” tampak dari raut wajah Ayah yang tidak menginginkanku kuliah di luar daerahku.
“Kalau gak boleh, yaa aku daftar di Aceh aja nanti. Di Unsyiah sama Malikussaleh. Di Banda kan ada Mbak,” ucapku pelan.
“Ya udah kamu pikirin terus jurusannya apa, yang penting masih di Aceh. Ayah izinin kamu kuliah asal ada beasiswanya.”
“Iya Yah.” Akupun langsung menuju kamar dan melihat semua jurusan yang tertera di lembar pemberian guruku yang berisi beberapa jurusan dan universitasnya.
Tekadku begitu kuat untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Akhirnya aku bisa bersekolah di luar dari tempat tinggalku sama seperti teman-teman sebayaku dulu. Sejujurnya aku sangat iri melihat teman-teman kecilku yang menempuh pendidikan jauh dari orang tuanya, masuk pondok pesantren atau masuk SMA terbaik di kota, tidak sepertiku yang selalu mengahbiskan waktu di kampung, sungguh aku akan membalaskan semua ini dengan kuliah di luar kampungku, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Seminggu sudah berlalu, aku sudah memutuskan jurusanku, Sosiologi dan Psikologi. Sebenarnya aku lebih cemderung dengan pilihan kedua, karena mengetahui perihal diri sendiri sepertinya sangat menarik, tapi aku tidak yakin dengan itu, fakultas kedokteran? Sungguh aku hanya bisa berbaik sangka kepada Pencipta. Jurusan sosiologi aku ambil karena hanya pada bidang itulah nilaiku terbilang bagus, tidak seperti nilai lainnya yang naik turun seperti gunung di belakang rumah.
“Kamu ambil jurusan apa Lel?” tanya Lia temanku.
“Sosiologi, kamu apa?”
“Pengennya sih Administrasi Negara di USU, yok ambil di Medan Lel,”
“Ayahku gak ngasih.”
“Oh gitu. Bapakku sih terserah aku aja di mana mau dan mampunya otakku,” ucapnya.
Enak yaa kalau apa-apa itu didukung, gak dibatasi gini. Pikirku saat itu sungguh seperti ragu-ragu. Bukan ragu untuk melanjutkan pendidikan, tapi ragu apakah aku akan lulus nantinya? Sungguh aku tidak ingin menganggur setelah tamat ini. Semua temanku sangat berani dalam menentukan pilihannya. Jurusan akuntansi, managemen, ekonomi pembangunan dan semua mata pelajaran yang menurutku sangat sulit. Sulit karena aku pernah mendapatkan nilai 40 seorang diri, sungguh memalukan. Bukannya aku tidak belajar, tetapi kegiatan berlatihku untuk mengikuti ajang olahraga membuatku sering tidak masuk kelas.
“Kamu ambil jurusan apa ki?” tanyaku pada seorang teman.
“Sama kayak kamu, sosiologi sama psikologi, universitasnya juga sama. Pokoknya persis sama kamu,” jawabnya.
“Loh kok sama sih? Jangan sama dong, ntar kan jadinya kita saingan, makin banyak saingan makin sulit lulusnya,” ucapku yang tidak terima diikuti jejaknya.
“Apaan sih Lel, kamu tu berlebihan tau.”
Sebegitu takutnya aku tidak lulus, hal sepele saja aku khawatirkan, ya pada saat itu tidak ada yang aku perioritaskan selain kelulusanku masuk universitas, aku memilih jurusan yang punya kemungkinan lulus besar, tapi untuk universitasnya aku masih mengharapkan di ibukota provinsi, karena bagiku fasilitas yang mendukung akan membantuku mengembangkan diriku yang tidak tahu apa-apa ini.
“Gimana pengumunanya? Lulus?” tanya nenek kepadaku.
“Belum tau nek, belum keluar pengumumannya.”
“Kalau gak lulus, nikah aja, nanti nenek carikan orang bawah.”
Seketika aku menutup mulutku karena kaget dan tidak habis pikir dengan apa yang baru saja aku dengar. Bahkan menikah tidak pernah menjadi sesuatu yang aku pikirkan, aku hanya diam dan meninggalkannya sendiri di ruang tamu itu.
Waktu terus berlalu, hingga penguuman kelulusan tiba, hanya ada lima siswa yang dinyatakan lulus SNMPTN dari sekolahku, alhamdulillah namaku ada disalah satunya, namun yang mengejutkan adalah tidak ada satupun dari kami yang lulus beasiswa bidikmisi. Keraguanku telah berganti, apakah aku bisa tetap melanjutkan cita-citaku tanpa beasiswa itu.
“Mak, aku lulus SNMPTN alhamdulillah.” Aku berlari menuju dapur untuk memberi kabar mengenai hal ini kepada ibuku.
“Alhamdulillah, di mana?”
“Tapi gak di Banda, di Lhokseumawe mak, itupun gak dapat beasiswa,” kataku.
“Kok bisa? Jadi gimana itu? Tunggu Ayah pulang dan kabari langsung sama Ayah gimananya yaa.”
Kamipun menunggu Ayah pulang dan menceritakan semuanya.
“Kalau gak ada beasiswanya yaa gak usah kuliah,” ucap Ayah.
Aku tidak menjawab, seketika air matakupun jatuh dan suasana tiba-tiba menjadi begitu mengahrukan. Cita-citaku harus terkubur?
“Yah, kuliah itu gak semahal yang Ayah kira.” Sambil terus mengelap air mataku, aku berusaha meyakinkan ayahku.
“Kan udah Ayah bilang, Ayah gak punya uang, apa yang harus Ayah jual? Rumah? Kebun? Cuma itu yang kita punya.”
“Yaudah aku bakal ikut tes untuk terakhir kalinya, kalau tes ini juga gak dapat beasiswanya, aku gak usah kuliah.”
“Tapi tesnya juga perlu biaya kan? Untuk berangkatnya?”
“Iya Yah.”
Ayah tetap dengan kebingungannya yang membuatku sangat takut.
“Jadi Ayah mau aku gak kuliah?”
“Ayah juga pengennya kamu kuliah.” Terlihat wajah yang bingung dan sedih dari pandangan Ayah kepadaku.
“Kita jalani aja dulu Yah, rezeki itu kan datangnya dari yang di Atas, kita berdoa aja, Mamak janji bakal usahain biaya kuliahmu, asal kamu ingat apa kata mama. Prihatin, kita bukan orang punya, sadar kalau Mamak sama Ayah bukan orang kaya.”
Mamak seperti memberikan sinar cerah untuk masa depanku.
“Bener Mak? Aku janji bakal paham sama keadaan kita, aku janji Mak gak akan kecewain Mamak.” Ucapku sambil memeluk beliau.
Akhirnya aku meyakinkan diriku untuk menerima kenyataan bahwa aku harus meninggalkan impianku berkuliah di Banda Aceh, tidak apa, sudah untung Mamak memberikanku kesempatan untuk merasakan bangku perkuliahan.
Uang kuliah yang harus dibayarkan pertama kali aku dapatkan dari hasil penjualan buah alpokat di belakang rumahku, meski kurang Mamak mampu menutupinya dengan pinjaman. Dua kali penjualan alpokat itu untuk membayarkan uang kuliahku, sudah dua kali aku mencoba beasiswa tetapi hasilnya tetap gagal, aku belum mengerti alasan mengapa aku tetap tidak dinyatakan lulus dalam seleksinya. Dua semesternya lagi aku membayarkan uang kuliah dari arisan Mamak dan beberapa tabungannya yang sengaja ia simpan untuk keperluan kuliahku. Ditahun ketiga aku berhasil mendapatkan beasiswa, meski bukan beasiswa bidikmidi yang akan menanggung biaya kuliahku sampai selesai, setidaknya aku bisa meringankan beban Mamak dalam setahun ini.
Ayahku seorang yang tidak aktif bekerja, ia hanya mengurus ladangnya yang seringnya gagal panen akibat tanamannya yang tidak menerima pupuk. Mamakku hanyalah sebagai ibu rumah tangga dan mengajar anak-anak di kampung untuk mengaji di sore hari, ibu berjualan makanan di TPA, hanya dari situlah kebutuhan kami tercukupi.
“Kamu tahu kenapa kamu gak lulus di Unsyiah?” tanya mamak pada suatu hari.
“Karena selesinya memang sulit Mak,” ucapku.
“Waktu kamu bilang mau ngurus semua keperluan untuk kuliah, setiap malam mamak bangun untuk sholat memohon kepada Allah, supaya kamu tidak lulus bersama Mbakmu di Banda.”
“Loh, kok gitu Mak? Aku tu pengen kali di sana Mak.”
“Dengerin dulu, Mamak tahu, kehidupan di ibukota itu mahal nak, apalagi sama Mbakmu yang bisa dibilang fashion nya kuat, mamak yang bakal biayain kamu dan mamak yakin gak akan kuat kalau kamu di sana. Makanya Mamak selalu bilang prihatin nak, Mamamu bukan orang kaya, yang penting itu cari ilmunya, bukan universitasnya atau jurusannya.”
“Mak, makasih yaa, udah berjuang sejauh ini.”
“Maafin Mamak yaa, sering telat ngirimin kamu bulanan, uangnya juga gak banyak. Seharusnya kamu itu cuma belajar dan gak mikirin biaya kuliah.”
“Mamak gak perlu minta maaf, aku cuma bisa ngatur uangnya supaya gak keluar terlalu banyak, Mamak yang nyari kok.”
“Mamak dari dulu sampe sekarang bukan orang mampu, kalau Mamak udah meninggalpun gak ada yang bisa Mamak kasih buat kamu sama adikmu, gak ada pembagian harta. Makanya Mamak cuma bisa ngasih kamu jalan untuk nyari ilmu, Cuma ilmu yang gak bisa dicuri, apalagi direbutin.”
“Ini udah lebih dari cukup Mak.” Aku menciumnya dan memelukknya dengan begitu erat.
Memang tidak ada yang bisa mengalahkan doa Mamak, tidak ada yang sekuat doa Mamak, dan berkat doa Mamak, aku bisa menempuh pendidikan hingga kini. Dari doa Mamaklah rezeki datang untukku.
Biodata Penulis
Nurlaeli Rohmah, lahir pada tangal 23 Desember 1999. Perempuan berdarah Jawa yang lahir dan besar di Aceh ini adalah seorang mahasiswi biasa yang senang menulis untuk melegakan perasaannya. Anak pertama dari dua bersaudara yang suka berbicara sendiri dan membaca cerita serta mendengarkan kisah inspiratif dari teman, nenek dan media lainnya.
***
Cerpen ini diterbitkan oleh Mecca Publishing di tahun 2020. Aku saat itu melihat pengumumannya di IG @komunitasperempuanmenulis dan alhamdulillah terpilih.
Entah ini cerpen atau curhat masa lalu, hehe aku berharap apa yang aku tulis di buku antologi keduaku ini bisa menjadi inspirasi buat teman-teman yang membaca. Aku tau beberapa halaman yang aku tulis ini sudah dipegang orang-orang di hampir seluruh Indonesia, dan itu membuatku sangat bahagia. Semoga yang membaca juga demikian.
Comments
Post a Comment