Dua
Awalnya aku berfikir bahwa ciuman itu menandakan ikatan yang lebih dalam diantara kami, tapi ternyata aku salah. Itu hanya anganku yang terlalu tinggi. Lamanya hubungan tidak menjamin keseriusan seseorang.
"Dari tadi kok di kamar aja? Udah makan? Kamu tinggal makan aja kok gak mau sih?"
"Iya ma, ini Donna mau makan."
"Kamu itu ngurus diri sendiri aja gak bisa gimana mau ngurus suami nanti?" Kalimat menyebalkan itu akhirnya keluar lagi.
"Urus diri masing-masing aja ma, kan udah besar."
"Mana bisa gitu, perempuan itu kodratnya melayani suami Na," ucap mama yang tidak mau kalah dariku.
"Kodrat itu pemberian Tuhan ma, gak butuh rahim buat ambil makanan."
"Sifat kamu yang sok feminis ini yang buat laki-laki jauhin kamu Na, ingat umur Na bukan saatnya lagi milih-milih, nanti jadi perawan tua baru tahu."
"Beli bedak aja milih ma, mana yang cocok sama kulit wajah, masa pilih pasangan hidup yang bakal di liat tiap pagi gak boleh milih-milih sih?”
"Menjawab terus kalau mamanya lagi bicara. Udahlah lupain si Raka kurang ajar itu, buat dia menyesal udah ninggalin kamu Na."
"Donna makan di depan rumah ma, nanti lagi ngobrolnya ya."
Lelah sekali telingaku mendengar mama tiap hari obrolannya jodoh terus, kayak gak ada topik yang lebih menarik aja.
"Ya ampun Donna, makan kok di depan rumah gitu, biar tetangganya tau kalau kamu makan hari ini ya?" ucap tetanggaku yang lewat depan rumah.
"Eh buk, makan dulu biar gak sirik jadi tetangga," jawabku sambil memperlihatkan makanan yang sedang aku makan.
"Ealah anak gadis gak ada sopan santunnya sama orang tua, pantes aja belum nikah."
Lihatlah bagaimana orang-orang yang minta dihormati padahal dirinya sendiri yang memulai berbuat tidak sopan pada orang lain.
Hidup bareng orang tua memang menghemat biaya hidup, tapi jangan harapkan mental akan tetap hidup juga. Mau punya karir sebagus apapun kalau belum menjadi "perempuan" yang masyarakat inginkan aku masih dianggap gagal menjadi perempuan.
Mereka pikir mudah melupakan seseorang yang sudah menemaniku selama lima tahun terkahir ini? Mereka kira mudah bagiku untuk bisa menerima takdir bahwa aku harus dikecewakan oleh orang yang aku harapkan bisa menjadikanku ratu setiap harinya. Sungguh bahkan saat kekasihku sudah mencampakkanku, aku masih saja diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang-orang di sekitarku.
"Mama mau ke mana? Rapi banget?"
"Mau arisan Na, kamu mau ikut gak? Siapa tahu ada ibu-ibu yang tertarik sama kamu terus jodohin kamu sama anaknya."
"Dih apaan dikira jaman Siti Nurbaya pake jodoh-jodohan?" aku menolak dengan tegas ajakan mama itu.
"Gak boleh gitu Na, yang penting ka usahanya."
"Kenapa sih dari tadi pembahasannya nikah terus, dari dulu malahan."
"Ya gimana lagi, usiamu udah gak muda lagi Na, mama malu diomongin sama tetangga."
"Ya gak usah di dengerin lah ma."
"Mana bisa gitu, orang yang mereka bilangin juga bener kok Na. Kamu memang sudah harus menikah. Lihat Siska temen SD kamu udah punya anak dua dia."
"Berarti Tuhan berkehendak demikian ma."
"Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kita harus memintanya supaya bisa ada di tangan kita Na."
"Iya iya ma, udah berangkat sana, nanti terlambat lagi." Aku sudah muak dengan kalimat andalan mama itu.
"Kamu beneran gak mau ikut Na?"
"Enggak ma, ada urusan nanti siang." Aku berbohong pada mama supaya tidak bertemu ibu-ibu rempong yang akan membahas statusku nanti.
"Yaudah mama pergi dulu ya, kunci pintu kalau mau keluar Na."
"Iya ma."
Entah siapa yang mengharuskan perempuan menikah dibawah umur 27 tahun, pengen aku toyor tu mukanya, gara-gara dia aku sekarang hidup jadi gak tenang.
Coba aja dulu Mas Raka gak ninggalin aku, pasti hidupku aman sentosa sekarang ini, tapi sayangnya itu gak terjadi.
Setahun lalu, saat aku mencoba memperlakukan Mas Raka seperti Raja dengan mencoba belajar membuat kue kesukaannya dan membawanya ke kantornya, tapi dari sanalah aku mengetahui bahwa Mas Raka tidak benar-benar mencintaiku.
Bagaimana mungkin saat aku ingin melakukan sesuatu yang sering ia lakukan padaku, aku malah diperlihatkan hal yang seharusnya tidak aku ketahui selamanya.
Hanya aku yang berani membuka ruangan Mas Raka tanpa harus permisi dulu, saat aku membuka pintu yang tidak pernah terkunci itu, aku dikagetkan dengan pemandangan yang sedang aku lihat.
Mas Raka tidak sedang bermesraan dengan seorang wanita, tapi ia sedang berpangkuan dan saling membelai satu sama lain dengan Irham rekan kerjanya.
Betapa terkejutnya aku saat itu, bagaimana mungkin selingkuhan pacarku adalah seorang laki-laki? Aku tidak kalah cantik ataupun kalah elegan darinya tapi aku kalah selera.
Astaga ini benar-benar membuatku mual dan ingin mengeluarkan seluruh isi perutku.
"Mas, apa-apaan ini? Kenapa kalian?" Tanganku menutup mulut dan kakiku tidak bisa lagi digerakkan, aku terjatuh melihat perbuatan keji itu.
"Donna." Mas Raka dan Irham menghampiriku yang saat itu hampir saja pingsan.
Aku dibawa ke dalam ruangan yang akhirnya dikunci itu, untuk menghindari banyak orang yang tahu perihal insiden ini.
Irham menawarkan ku segelas air putih dari meja Mas Raka.
Aku hanya diam tanpa berkata apapun, suasana hatiku masih sangat terkejut dengan hal yang baru saja aku ketahui.
Butuh waktu hampir sejam untuk membuatku lebih bertenaga lagi dan bisa diajak bicara baik-baik.
Mas Raka dan Irham memutuskan untuk menunda rapat yang akan mereka lakukan untuk bisa menyelesaikan semua urusan ini.
"Sudah sejak kapan?" tanyaku tidak sabar mengetahui hal tersebut.
"Jauh sebelum Raka jadian sama lo. Bukan gue yang pelakor di sini, bukan gue yang jahat." Irham langsung menjawab pertanyaanku tanpa berpikir panjang.
"Mas?" Aku menatap Mas Raka berharap ia mengucapkan hal yang berbeda dari Irham.
Mas Raka hanya terdiam, mungkin ia tidak tega memberitahuku.
"Udahlah Mas, gak perlu lagi ditutupi, kan Mas sendiri yang janji sama aku kalau Mas bakal putus dari Donna." Wajah Irham seperti menuntut kepastian dari Mas Raka sama seperti yang wajahku perlihatkan.
"Iya Na, sebenarnya hubunganku dengan Irham, sudah jauh lebih dulu daripada hubungan kita, dulu ayahku mengetahui itu dan ingin mengeluarkanku dari rumah dan juga kantor, makanya setelah itu aku memintamu untuk menjadi pacarku."
"Apa Mas?" Aku terkaget mendengar penjelasannya itu.
"Iya kamu itu cuma jadi alat untuk nutupin aslinya Mas Raka, selama lima tahun, karena Mas Raka masih butuh kamu," ucap lelaki breksek itu.
"Kita udah lima tahun Mas. Lihat ini cincin ini buat apa kamu kasih kalau cuma itu mau kamu? Kamu jahat Mas." Aku melepaskan cincin itu dan melemparkan kepada Mas Raka karena kekecewaan ku padanya.
Aku pergi meninggalkan ruangan itu dengan telinga yang mendengar panggilan Mas Raka untuk terakhir kalinya dalam hidupku.
"Donna."
Comments
Post a Comment