Pernikahan Anti Ribet ala Perkampungan
Orang-orang kampung tidak pernah overthinking sebelum menikah seperti orang-orang kota. Kenapa? Karena mereka sederhana.
Orang-orang kota mungkin akan bingung kalau mau menikah harus pakai resepsi internasionalkah? menggunakan adat apa? Outdoor atau indoor? Hiburannya apa? Pakai gedung di mana? Kalau di desa semua resepsi, urutan acara, pelaminan, baju pernikahan sama semuanya, palingan hanya berbeda sedikit saja itupun diharganya. Bahkan pernah terjadi satu kasus tetangga yang menyewa pelaminan saat acara ditempat mempelai wanitanya. Luar biasa bukan?
Orang-orang kota biasanya akan banyak sekali pertanyaan sebelum memutuskan menikah, mulai dari pertanyaan keuangan, sex edukasi, kesiapan emosional, pertanyaan mau tinggal di mana? Di kampung, semua pertanyaan itu semua tidak penting, yang penting ‘laku'.
Jika orang-orang kota kalau mau menikah sudah harus mapan, punya pekerjaan bagus dan jabatan tinggi, di kampung tidak demikian, yang penting anaknya bisa cepat ‘laku'.
Di kampung tidak perlu malu kalau menikah pas usia masih belasan, masih sekolah bahkan hamil di luar nikah juga dianggap biasa saja. Karena hampir semua orang melakukan hal yang sama. Bedanya kalau dipelosok kampung menikah di usia belia tidak masuk televisi.
Kalau di kota, pasangan yang ingin menikahlah yang sibuk mengurusi segala urusan resepsi dan perlengkapan lainnya, sedangkan kalau di desa hampir semuanya dipersiapkan oleh ibu bapaknya. Hal ini karena orang tua yang anaknya ingin menikah berharap sumbangan yang sudah diberikan kepada teman dan keluarga bisa segera dikembalikan. Jadi gak ada masalah kalau yang mau nikah anak, tapi yang pusing tujuh keliling adalah ibu bapaknya.
Beberapa kasus juga ada yang maharnya dipersiapkan oleh orang tuanya, yang penting anaknya ‘laku'.
Jadi modal anak kampung saat menikah adalah modal ibu bapak, harta beliau dan satu hektar lahan perkebunan. Cukup sederhana bukan? Kalau perkenalan sebelum menikah seringnya hanya ditanya “sudah punya kebun atau belum?” dan rata-rata laki-laki usia 17 an di kampung sudah punya kebunnya sendiri. Meskipun untuk modal perawatan seperti pupuk dan langkah-langkah dalam menggarapnya masih atas perintah orang tua.
Sangking harusnya ‘laku' bahkan ketika belum memiliki KTP, perempuan di kampung lebih suka mengikuti persidangan untuk bisa menikah daripada harus menunggu satu atau dua tahun lagi untuk mendapatkan buku nikah.
Makanya tidak heran, orang kampung itu anaknya banyak-banyak, bukan gak kenal KB, tapi mereka mempercepat masa muda mereka untuk menghasilkan keturunan. Terlebih pemikiran masyarakat kampung yang sederhana itu membuat mereka tidak perlu memikirkan banyak hal, perjalanan hidup mereka dimulai dari sekolah, terserah mau tamat atau tidak, kemudian menikah, terserah mau langgeng atau tidak yang penting jangan lupa berkebun dan bertetangga. Cukup sederhana dan tidak banyak membuat pikiran yang aneh-aneh.
Perempuan yang cepat menikah dianggap lebih dewasa karena tidak lagi menjadi beban keluarga. Setelah menikah juga tidak perlu pusing untuk mencari tempat tinggal. Orang kampung biasanya akan tinggal di rumah mertua, jadi tidak akan pusing mikirin gas, listrik, beras dan lainnya. Tinggal di rumah mertua biasanya hingga anak pertama lahir dan setelah itu akan diberikan rumah oleh salah satu orang tua atau kedua belah keluarga yang saling membantu untuk pembangunan rumah anak-anaknya. Hal ini juga menjadi tolak ukur keberhasilan orang tua di mata masyarakat kampung.
Yakin gak mau menikah sama anak kampung? Tapi ingat ya ini cuma satu perspektif yang aku kasih tau, dan masih banyak perspektif yang akan kamu temui di luar sana.
Comments
Post a Comment