Tiga

 Aku telah selesai dengan semua urusan rumahku saat mama pulang dari arisan. Ia tampak lebih ceria daripada saat berangkat tadi.

"Ra, mama ada kabar baik buatmu," ucap mama mengagetkanku yang sedang asik melamun.

"Apa sih ma? heboh banget deh."

"Kamu ingat gak buk Rina? yang punya kebun duren lima belas hektar itu."

Aku mencoba mengingat seseorang bernama Buk Rina itu "Ooh iya ma ingat, kenapa sama dia?“

"Rupanya dia masih punya anak laki-laki loh yang bungsu itu."

Aku merasa ada sesuatu yang harus aku hindari, aku merasakan ada pembahasan mengenai perjodohan yang akan dibahas mama.

"Anaknya lumayan ganteng loh Na," sambungnya

"Donna dak peduli dan gak mau dijodohin sama dia ma."

"Loh loh loh kok udah nolak? belum juga ditawarin."

"Donna udah tahu arah pembicaraan mama, gak lain dan gak bukan selalu membahas pernikahan, bahkan seharian ini mama sudah berkali-kali bilang Donna sudah harus menikah." Aku yang mulai kesal dengan mama mengucapkan uneg-uneg yang mengganjal di hatiku.

"Ma, kalau sudah jodohnya pasti datang kok, Donna juga gak nutupin kalau ada orang yang mau dekat sama Donna, tapi bisa gak mama percaya sama pilihan Donna? Donna juga mau nikah, pengen ngerasain satu ranjang sama lelaki yang Donna sayang ma."

"Mama cuma khawatir sayang." Wajah mama sepertinya terkejut mendengar suaraku yang lebih keras dari sebelumnya.

"Mama harusnya bisa percaya sama Donna, kalau Donna akan tetap bahagia ada enggaknya suami Donna nanti."

"Iya kamu yang tahu apa yang terbaik untukmu nak."

Mama terlihat kecewa dengan ucapanku dan meninggalkanku di ruang tengah sendirian merasakan perasaan bersalah telah berbicara dengan nada tinggi kepadanya.

Habisnya aku kesal sekali, setiap mama pulang arisan, pasti dia menawarkanku kepada semua temannya, aku seperti barang yang harus laku kalau tidak akan basi dan merugikan mama sebagai pemiliknya.

Menurutku anak itu bukan aset, yang sengaja dirawat untuk bisa dipetik buah kerja kerasnya dikemudian hari.

Seperti yang mamaku lakukan, ia selalu bilang buat apa dia rawat aku sampai bisa cantik begini kalau sampai sekarang belum ada yang meminangku. Aku kan diciptakan Tuhan sebagai makhluk individu yang memiliki tubuh dan masa depanku sendiri.

Maksudku, kenapa orang tua selalu merasa bahwa anak mereka adalah sesuatu yang bisa mereka atur sesuka hati mereka? seringnya tanpa pertimbangan bersama atau keputusan sendiri dengan alasan bahwa hidup lebih lama membuat mereka lebih mengetahui asam manis kehidupan.

Padahal hidup di jaman mereka dulu dan sekarang tentu sangat berbeda, dan mereka selalu merasa benar, kalaupun terlihat salah mereka tetap mengkultuskan posisi mereka bahwa orang tua selalu punya tempat tertinggi di rumah tangga.

Memang benar mereka itu disucikan, tapi seharusnya tidak lantas mengurangi gerak anak-anaknya.

Ku lihat banyak orang tua yang memaksakan cita-cita anaknya harus seperti apa, bahkan sampai menentukan ciri-ciri menantunya kelak, ini sungguh gila, kita bahkan tidak bisa menentukan diri kita sendiri.

Mereka bilang mereka tahu yang terbaik untuk anaknya, padahal secara diam-diam mereka ingin anaknya mewujudkan cita-cita yang tidak tersampaikan di masa lalu olehnya dan kemudian membebankan kepada anaknya.

"Kak, mama kenapa? kayaknya sedih gitu," tanya adikku penasaran.

"Biasalah."

"Susah banget ya kak nyari suami?"

Dih ni anak tau apaan sih? Tiba-tiba nyeletuk menyomot sembarang topik.

"Mau gak aku kenalin sama abangnya temenku kak?“

Aaaaaaaaaaa

Aku berteriak sekencang yang aku bisa. Ada apa dengan orang-orang di rumah ini? semua membicarakan pernikahan?

"Mati aja aku besok! Tuhan ambil saja nyawaku besok pagi supaya tidak dituntut menikah sama semua orang!"

Aku masuk ke dalam kamarku dan mengunci rapat pintunya.

Kepalaku pusing sekali dengan pertanyaan itu, apa tidak ada yang ingin mereka tanyakan selain jodoh? tanya kenapa apel bisa jatuh kek biar bermanfaat sedikit.

Semakin lama mentalku semakin tidak terselamatkan di rumah ini, aku benar-benar muak dengan semuanya.

"Bagaimana kalau aku pergi merantau saja? tapi bagaimana dengan pekerjaanku? kalau tabungan sih aku punya, tapi untuk tetap hidup di sana nanti bagaimana? ini sangat sulit dipikirkan," pikirku sejenak.

Baiklah ini weekend seharusnya aku bisa lebih bersantai, sepertinya harus ada yang aku kerjakan supaya otakku tidak hanya berfikir tentang bagaimana caranya tetap waras di rumah sakit jiwa ini.

Setengah jam menelusuri media sosial ternyata lelah juga, kuputuskan untuk menonton drama Korea, supaya hatiku lebih tenang dalam menjalani hidup yang kejam ini.

Miracle in Cell no. 7 menjadi film yang aku pilih untuk lepas dari dunia yang menyebalkan ini.

Sejam sudah aku menonton film ini, ya Tuhan sedih sekali rasanya jadi anak itu, mengapa orang-orang seperti mereka tidak pernah mendapat keadilan ya? tanpa sadar ku sudah pilek akibat tangisanku karena kisahnya yang sangat menyayat hati.

Sangking serunya aku menonton drama ini, aku sampai lupa pukul berapa sekarang, ternyata sudah malam dan aku belum makan.

Aku keluar dari kamar memastikan semua anggota keluarga lengkap, dan mereka semua sudah tertidur lelap.

"Kalau rumah tenang dan damai gini kan enak, gak ribut nanyain jodoh."

Aku yang sedari siang marah dengan orang rumah sampai lupa mengisi perutku dengan makanan.

Ternyata mereka melupakanku, makanan di dapur sudah tandas semuanya, tidak ada yang tersisa, bahkan nasi pun sudah habis. Tega sekali mereka, sudah tidak mengajak makan malam, sekarang tidak ada sedikit pun yang bisa aku makan.

Mentalku memang sedang diuji, tapi lambungku harus tetap kuat. Aku mencari indomie goreng kesukaanku yang sering disimpan mama untuk saat-saat begini.

"Akhirnya ketemu juga,' aku memasaknya dengan sedikit suara siulan dari mulutku. Tidak perlu menunggu lama mie gorengpun masak dan aku segera menyantapnya dengan penuh semangat, aku sangat lapar.

"Anak perempuan kenapa makan malam-malam?" Ayah mengagetkanku dari belakang, membuatku hampir saja tersedak.

"Ayah, kenapa ngagetin gitu sih? kirain udah tidur tadi."

"Ayah memang sudah tidur tadi, tapi siulanmu itu mengganggu ayah."

"Oh karena itu ayah bangun?"

"Tadinya iya, tapi aroma mie goreng ini tampaknya lebih menggoda ayah untuk bangkit dari kasur," ia memamerkan deretan giginya yang sudah tampak bolong dibeberapa bagian.

"Yaudah bareng aja yah, males banget mau masak lagi."

"Ayah dikasih bekasmu? gak sopan sekali anak gadis ini."

"Bekas anaknya sendiri aja sok jual mahal ayah mah."

"Sudah jangan banyak cerita, buatkan ayah satu indomie goreng lagi."

"Buat saja sendiri ayah, kan airnya masih panas itu. Tinggal seduh aja gak repot kok."

"Enggak enggak, kamu harus buatin ayah, kan kamu anak perempuan. Masa ayah disuruh masak sih? ayah kan laki-laki."

"Lah terus kenapa yah? masak kan gak butuh rahim, kenapa harus Donna sih yang masak?"

"Kodrat perempuan kan harus melayani nak, sebelum kamu melayani suamimu, belajar dulu melayani ayahmu."

Aku diam saja dan langsung membuatkannya mie goreng itu, aku tidak mau berdebat dengannya dan membangunkan seisi rumah.

Sejak kapan perempuan punya kewajiban untuk melayani laki-laki? Bahkan sebelum pada suami harus melayani ayahnya, jadi selama hidup perempuan harus jadi pelayan gitu? dunia sungguh kejam kepada perempuan.



Comments

Popular posts from this blog

Sesusah Apa Sih Skripsi itu?

Tentang Berproses

Apa Bener Kalau Perempuan Banyak Temen Pria Jadi Murahan?