Borjuis Desa yang Dilupakan Millenial

Semasa kuliah saya diperkenalkan berbagai bahasa asing mulai dari kapitalisme, sosialisme, primordialisme, seksisme dan isme lainnya yangn membuat kepala semakin pusing dengan semua bahasa alien tersebut, namun yang paling saya ingat adalah dua bahasa yang diperkenalkan Marx yakni proletar dan borjuis. Proletar adalah kelompok manusia yang tidak memiliki modal, alat-alat produksi dan hanya mengandalkan potensi ketubuhan seperti pemikiran dan tenaga untuk menghasilkan sesuap nasi. Sedangkan kaum borjuis ialah sekelompok orang yang memiliki alat-alat produksi, memiliki modal dan biasanya mengatur, mengontrol dan seringnya menindas kaum proletar yang bekerja dengan mereka. Singkatnya borjuis adalah orang kaya yang ditakuti dan proletar adalah buruh yang menderita.


Itulah teori yang melekat selama 4 tahun saat saya kuliah, bahwa ada kaum rendahan yang ditindas dan kaum yang selalu ingin diberantas. Tetapi setelah habis bangku kuliah saya telan tanpa minum itu realita lain telah saya temukan layaknya detektif conan yang saya tonton tiap pagi.

Kalau melihat dunia realitas di sekitar saya, kaum proletar yang tidak memiliki modal dan hanya mengandalkan keahlian sangatlah diagungkan dan didambakan khalayak ramai bak orang-orang mendambakan menjadi raffatar. Seorang buruh yang bekerja di luar daerah/kampung sangat dielukan, dipuja sana sini harumnya melebihi bunga mawar pemberian pacar. Dianggap hebat luar biasa padahal karyawan swasta juga kaum proletar yang tidak memiliki modal dan alat-alat produksi, mereka diperas tenaganya dirampas waktunya dan ya mereka proletar yang tidak memiliki kebebasan dalam melakukan banyak hal.

Sedangkan kaum borjuis di kampung yang punya lahan pertanian, punya alat-alat produksi dan bisa saja mempekerjakan orang lain untuk bekerja dengannya, melakukan pekerjaan tidak terkekang waktu, bekerja sesuka hati tanpa harus ada kalimat “Noted pak” malah dianggap tidak berhasil menjadi harapan orang tua.

Apakah teori bahwa borjuis itu kejam dan juga keren itu tidak lagi berlaku? Atau masyarakat kini semakin variatif dalam menilai seseorang?

 Nah layaknya berbelanja ke pasar, kita akan lebih senang melihat sayuran yang segar, aroma makanan yang menarik air liur dan kumpulan harga yang pas dikantong memuat kita tertarik untuk membeli sesuatu. Begitu pula dengan sebuah pekerjaan, orang-orang  akan lebih tertarik menjadi seseorang yang lebih enak dipandang secara visual dengan tampilan menarik dan harga yang pas di pasaran.

Menjadi petani dengan lahan milik sendiri tetap saja pakainnya yang dikenakan lusuh dan biasanya bekas pakaian yang tidak lagi dipakai, seringnya robek sana sini dan aroma keringat tidak menampilkan kesuksesan anak milenial sekarang. Sedangkan tidak bertemu keluarga, pergi pagi pulang petang tetap bisa jadi mantu idaman karena perginya tetap dengan pakaian bersetrika dan sedikit aroma parfum untuk menunjang penampilan.

Harga yang pas biasanya dilihat dari hasil yang didapat setiap bulannya apakah pasti atau selalu misteri. Padahal kegelapan tidak selamanya menyimpan hantu, bisa jadi hanya ada cacing kecil yang cukup imut untuk membuat kita takjub. 

Masyarakat modern di daerah terpencil tempat kopi Gayo lahir ini melihat bahwa gaji pasti 3 juta setiap bulan adalah sebuah kesuksesan, padahal petani yang penghasilan tak pasti ini juga memiliki segudang mesteri yang akan kita bongkar sebentar lagi.

Kita tahu bahwa karyawan banyak yang berkerja dari pagi hingga petang lalu weekend nya jalan-jalan tak lupa caption healingnya dipersiapkan. Petani kopi di sini bisa pergi pukul 9 sampai 10 pagi dan pulang sebelum suara azan berkumandang. Waktulah sesuatu yang sangat mahal dan tidak bisa dibeli, Lihatlah betapa nikmat waktu yang tak pernah terlihat banyak orang, yang selalu menganggap bekerja menjadi petani selalu menderita.

Para karyawan menerima upah dari tenaga dan otaknya setelah sebulan bekerja, sedangkan petani di sini menerima upah sesuka hati mereka, mau kutip kopi pagi siang jual dapat uang, dua minggu sekali hasil panen bisa dipetik, atas ada buah bawah bisa jadi kepingan rupiah juga, belum lagi yang tanahnya ditanami banyak buah, alpukat yang bisa panen dua minggu setelahnya, markisah juga bisa dibiarkan lalu panen. Lihatlah betapa nikmatnya cuan yang tak harus menunggu sebulan.

Musim kopi memang tidak setiap saat, namun jika dihitung-hitung saat panen dalam sebulan bisa dapat 4 juta bersihnya, biaya makan yang murah meriah, kehidupan sosial yang tetap terjaga dengan rutinan bergosip dengan tetangga dan ikut arisan kelurahan, bukankah kita bisa mendapatkan aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya juga? Yang mungkin belum bisa didapatkan saat kita sibuk dengan dunia perkotaan yang ramai. 

Kita juga tahu bahwa karyawan mendapat kenikmatan karena bekerja di ruangan dengan kursi putar yang suka juga memutar balikkan fakta dunia, tapi bukankah melihat anak-anak (dibaca bibit) tumbuh perlahan juga sebuah kebahagiaan? Kerja di bawah cuaca ekstrem juga menandakan bahwa milenial tidaklah lemah fisik seperti yang dikabarkan banyak orang, Bukankah menjadi petani menunjukkan bahwa kita juga tahan banting?

Banyak alasan dilontarkan kaum muda yang katanya lebih sehat mental saat jauh dari keluarga dan merasa sukses jika bekerja menggunakan dasi, tapi menjadi petani juga bukan juga tak memiliki arti, karena fleksibilitas merupakan privilege kaum petani. 

Harga panen tak pasti seharusnya bisa disamakan dengan ketidakpastiaan karyawan yang kapan saja bisa di PHK, cuaca buruk seharusnya juga bisa disamakan dengan permintaan klien yang kadang sering berubah-ubah.

Masyarakat tanpa kelas dikabarkan tidak akan pernah terjadi, begitu pula masyarakat tanpa stigma sepertinya tidak akan pernah terjadi, semua masyarakat punya label sendiri menentukan sukses tidaknya seseorang. Teori semakin ke sini semakin menunjukkan ujungnya bahwa tidak ada yang pasti. Menjadi proletar ternyata tetap bisa berjaya menurut rakyat kampung yang agung melihat ramainya kota. Borjuis juga bukan hanya mereka yang berdasi, tanpa disadari masyarakat yang hanya memegang cangkul juga punya kuasa atas kebebasan tubuh yang juga sebenarnya adalah kesuksesan.


Comments

Popular posts from this blog

Yakin mau Boikot Produk Prancis?

Cara Mengkhatamkan Al-Qur'an Tanpa Khawatir Datang Bulan dan Hambatan lainnya

Macam-macam alat penahan Menstruasi pada wanita