Konsep Omnibus Law Ciptaker Ketinggalan Zaman?
Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 7 Oktober 2020, DPR secara resmi mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Rancangan Undang-Undang yang pembahasannya sudah dimulai sejak tahun 2019 ini menuai banyak kritikan bahkan penolakan dari berbagai pihak. Mulai dari para serikat buruh, akademisi, aktivis lingkungan, bahkan beberapa ormas keagamaan pun banyak yang menolak RUU ini karena dinilai RUU omnibus law tidak banyak berpihak terhadap rakyat.
Meskipun dari berbagai pihak yang banyak menaruh keberatan bahkan penolakan terhadap rancangan undang-undang tersebut pemerintah seakan-akan ignorance terhadap segala masukan yang datang dari berbagai pihak-pihak tersebut. Pihak pemerintah dan DPR pun berdalih bahwa penerapan rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini akan memperbaiki siklus usaha di Indonesia serta akan memudahkan peluang investasi dari luar negeri ke Indonesia. Lantas apakah pernyataan dari pemerintah tersebut benar dan dapat di pertanggung jawabkan?
Well menurutku pernyataan dari pemerintah yang sering mereka katakan itu terlalu dangkal untuk dijadikan sebuah acuan dalam pembuatan kebijakan, hmmm gimana ceritanya? Coba kita simak lebih lanjut...
Singkatnya omnibus law sendiri itu adalah suatu rancangan undang-undang yang dibuat untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan bagi korporasi baik ddalam dan luar negeri ke Indonesia. Sedangkan dalam undang-undang omnibus law cipta kerja sendiri ada 186 pasal dalam 15 bab yang membahas tentang upah, perizinan, hingga dampak lingkungan yang timbul dari investasi.
Kalian pasti tahu bahwa pada masa kepemimpinan Jokowi saat ini beliau banyak menggaungkan soal investasi dan pemangkasan birokrasi. Maka dari itu pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-undang (RUU) cipta kerja sebagai salah satu dari sekian banyak kebijakan terkait investasi di Indonesia.
Pada RUU ini, pemerintah berasumsi bahwa penetapan RUU Cipta Lapangan Kerja ini akan melancarkan arus investasi di Indonesia sehingga akan lebih banyak menyerap tenaga kerja. Asumsinya adalah jika arus investasi masuk dengan lancar maka akan mampu banyak menyerap tenaga kerja sehingga kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Nah di sinilah timbul masalahnya. Tahukah kamu bahwa asumsi tersebut cukup benar namun tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman sekarang?. Yang perlu diketahui adalah bahwa masuknya atau lancarnya arus investasi tidak selalu berdampak pada terciptanya lapangan kerja. Hubungan antara investasi dan terciptanya lapangan kerja terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 investasi per 1 triliun di Indonesia dapat menyerap hingga 5000 tenaga kerja. Sedangkan pada tahun 2016 dalam per 1 triliun investasi hanya mampu menyerap kurang lebih 2200 tenaga kerja saja.
Lantas mengapa hal tersebut bisa terjadi? Tidak lain dan tidak bukan hal ini terjadi karena perkembangan teknologi.
Seiring perkembangan zaman, tenaga manusia sedikit demi sedikit semakin tergeserkan oleh mesin-mesin dan komputer. Misalnya, tenaga manusia dalam bidang perbankan sudah mulai tergeserkan, perbankan sekarang sudah tidak lagi terlalu memerlukan tenaga manusia karena sudah tergantikan oleh komputer dan mesin ATM. Bahkan dari sektor pertanian sendiri yang harusnya mampu menyerap tenaga kerja lebih, sekarang sudah banyak tergantikan oleh mesin-mesin.
Baca juga: APA ITU RESESI EKONOMI DAN APA SAJA YANG BISA KITA SIAPKAN UNTUK MENGHADAPI RESESI EKONOMI
Maka dari itu dari sini dapat disimpulkan bahwa rancangan undang-undang omnibus law cipta lapangan kerja masih menggunakan cara berpikir lama dengan mengasumsikan investasi faktor utama dalam hal peningkatan jumlah lapangan kerja.
Dalam hal ini, pemerintah seharusnya mampu dan lebih jeli dalam menetapkan suatu kebijakan. Terlebih RUU Omnibus Law ini dibentuk dengan banyak kritik dan kontroversi, misalnya pemerintah tidak melibatkan pihak masyarakat dan buruh serta dibuat dengan waktu yang terlalu singkat.
Comments
Post a Comment