Antologi Cerpen "Izinkan Perempuan Bicara" Part 1
Melinda
"Jika keluarga dibangun dengan cinta, maka jangan biarkan salah satunya merasa tertekan dan tak berharga, karena sejatinya keluarga adalah yang saling mengasihi satu sama lain, bukan yang hanya ingin dihargai dengan yang lain." _Melinda.
Tok! tok! tok!
Suara palu terakhir sebagai tanda perceraian antara Melinda dan Rangga telah berbunyi lantang. Suara pembelaan memang tidak akan lagi didengar oleh Melinda, tapi suara bisikan tetangga akan mulai ramai mengisi gendang telinga sepanjang masa.
"Kalau sudah jadi janda, jangan suka menggoda lelaki beristri ya!" Baru sampai depan rumah saja sudah mulai bibir pedas itu bersuara, mengalahkan pedasnya sambalado buk titin depan gang.
"Gak semua janda itu penggoda buk," jawab Melinda berusaha sabar.
"Satu banding sepuluh tapi kan, kamu itu perempuan tapi suka membantah omongan orangtua, pantes aja suami kamu ninggalin kamu."
"Bukan dia yang meninggalkan saya buk, tapi saya yang meminta cerai darinya. Tolonglah buk jangan suka buat emosi orang lain." Braak. Melinda membanting pintu dan menangis dibelakangnya.
Siapa yang tahu pedihnya luka hati selain engkau Tuhan? Siapa yang mengerti sebanyak apa darah, nanah dan air mata ini keluar selain engkau Tuhan? Apakah ini benar-benar berakhir atau baru akan dimulai? Rintihan Melinda menandakan betapa sudah lelah jiwanya bertahan dalam hubungan rumah tangga yang tidak sehat. Hati hendak mengakhiri namun apa daya tampaknya pedih hati akan baru dimulai lagi.
Kriiing kriingg. Suara telepon yang merengek minta diangkat.
"Hallo Nggi" sapa Melinda.
"Mel, udah sampe rumah? Aku mau kesitu."
"Udah ni Nggi."
"Kamu nangis Mel?"
"Enggak kok Nggi."
"Udah deh gak usah drama, aku otw yaa” Telepon pun ditutup sepihak oleh Anggi.
Sembari menunggu Anggi datang, Melinda mulai memanaskan air untuk minum. Sahabatnya yang akan datang sore nanti sangat cerewet, seringnya dia minta yang aneh-aneh. Seperti minuman kopi yang diberi garam, katanya ini rahasia awet mudanya. Padahal tidak ada bukti yang membenarkan hal tersebut. Yaa begitulah namanya juga si Anggi Wahyuni.
"Assalamualaikum manis." Tak lama berselang, Anggipun datang
"Walaikumussalam bawel."
"Ih kamu mah dipuji malah balasnya gitu."
"Jadi kamu mau aku balas apa Nggi?"
"Yaa apa gitu, hehe…."
"Ulang yaa, walaikumussalam sahabatku yang in sha Allah masuk surga."
"Aaa cayang Melinda. Peluk peluk sini."
"Uluh uluh."
"Gimana perasaannya sekarang?" tanya Anggi
"Aku lega udah bisa lepas dari Mas Rangga Nggi, tapi sekarang aku bakal jadi omongan orang."
"Loh kenapa? Karena kamu janda? Hei janda itu cuma status aja kok bukan berarti merepresentasikan harga diri kamu sebagai manusia yang rendahan."
"Iya aku ngerti itu Nggi, tapi orang di luar sana bagaimana?"
"Apa peduli kamu? Itu masalah mereka sendiri yang enggan mengedukasi diri dan terjerat dalam kungkungan mitos patriarki"
"Baiklah ibu progresif."
"Ahaha kamu ini bisa aja sih Mel." Sembari bercakap-cakap dan ditemani secangkir kopi rahasia awet muda Anggi. Mereka mulai menceritakan keluh kesah antar pribadi. Yaa begitulah.
Katanya perempuan suka merumpi padahal mereka hanya berusaha mengeluarkan emosi yang terjadi setiap hari. Mereka hanya berusaha melepaskan penat seharian penuh berada dalam rumah yang penuh dengan teriakkan perintah.
Entah mengapa pengalaman perempuan sering sekali diragukan. Katanya mereka baperan, padahal semua manusia sama-sama memiliki pemikiran dan perasaan terlepas dari gendernya apa. Namun mitos masa lalu yang masih dibawa hingga sekarang sering membutakan manusia yang katanya sudah modern ini.
"Mel, udah mau malem nih. Aku pulang dulu yaa. Gak enak aku kalok anak-anak pulang tapi aku gak di rumah."
"Loh bukannya Mas Arya ada dirumah yaa?"
"Halah kamu kayak gaktau dia aja. Mana ngerti dia ngurusin anak. Sempak sendiri aja gaktau tempatnya dimana. Hehe. Aku pulang yaa sayang. Jaga diri baik-baik, assalamualaikum."
"Walaikumussalam Nggi. Hati-hati loh dijalan. Ntar kalok ada abang-abang yang catcallingin kamu tendangin aja yaa. Ahaha…."
"Gampang itu say, udah sedia bubuk merica aku tuh. Byee!"
"Byee!"
Meski tak lama kehadiran Anggi sedikit memberikan tawa untuk hari ini kepada Melinda. Rumah itu kembali sendu, tidak ada lagi suara bising, yang ada hanya dentuman detik jam dinding yang tak bosan berputar.
Jam itu terus berputar tanpa bosan mengingatkan kita akan keberadaan Tuhan dengan panggilan azannya. Semua umat yang mengingat amanat untuk tetap taat akan berbondong-bondong mendatangi rumah Tuhan itu. Biasanya Melinda akan menunaikan sholatnya di rumah, namun sekarang ia bisa pergi ke surau. Tentu saja hal ini karena bos besar sudah lenyap dipengadilan tadi siang.
Bukan tanpa alasan Rangga melarang Melinda pergi ke Surau. Katanya perempuan itu tempatnya fitnah, jadi harus benar-benar menjaga kodratnya sebagai ibu rumah tangga di dalan rumah. Kalau hijab adalah penutup aurat pertama bagi perempuan, maka rumah adalah penutup auratnya yang kedua. Sebegitu besar fitnah perempuan, maka diperlukan banyak sekali 'penjaga'. Alangkah baiknya jikalau perempuan menyenangi pekerjaan di dalam rumah. Begitu terus setiap kali Melinda meminta izin kepada Rangga untuk pergi ke Surau. Entah sekedar sholat atau bahkan mengaji.
Kalau perempuan dilarang keluar rumah tanpa mahrom, apa jadinya Melinda sekarang yang sudah menjadi yatim dan janda? Apakah dia bisa memenuhi kebutuhannya hanya dengan berdiam diri di rumah? Pun begitu dengan seluruh janda di Indonesia, mereka sangat kesulitan mendapatkan akses pekerjaan diluar area domestik. Hal ini tentu saja karena budaya patriarki yang tidak memberikan akses yang setara antara perempuan dan laki-laki. Sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi janda seperti Melinda sekarang.
***Bersambung***
Cerpen ini telah diterbitkan dalam sebuah buku antologi cerpen dengan judul yang sama pada Januari 2021.
Sebelum diterbitkan, Cerpen ini merupakan cerpen yang meraih peringkat 12 besar dalam perlombaan Cerpen tingkat Nasional berteman perempuan yang diikuti ratusan peserta.
Waktu itu, saya tidak pernah menyangka akan menjadi salah satu penulis yang namanya akan tercantum dalam sebuah buku bertema perempuan yang benar-benar menyuarakan isi hati saya. Semoga siapapun pembaca buku ini, akan senantiasa memiliki pilihan untuk hidupnya sendiri tanpa paksaan dari siapapun.
Comments
Post a Comment