Empat
Bahagia Sebelum Menikah, satu bab dari tulisan dokter gigi bernama Dea Safira. Aku memilih buku ini untuk dibaca bukan karena aku ingin menjadi feminis garis keras, tapi aku hanya ingin tau saja, bagaimana pandangan feminis menurut perempuan berdarah Jawa yang sudah aku ikuti setahun terakhir ini.
Setelah selesai membaca bab itu akupun bertanya pada diriku sendiri, alasan aku sangat ingin menikah sebenarnya karena apa? apakah karena aku merasa kesepian? sangat mencintai laki-laki yang menjadi kekasihku atau aku hanya ingin terhindar dari omongan tetangga?
Aku tidak pernah menginginkan suami hanya karena aku sudah lelah bekerja dan ingin dinafkahi, seperti yang pernah kukatakan sebelumnya bahwa aku menginginkan hubungan yang seimbang, jika lelakiku membayarkan makan siangku, aku ingin membayar makan malam kami. Aku sangat tidak suka bergantung dengan orang lain sebenarnya, tetapi jika prinsipku itu kurang disenangi lelakiku, maka tidak ada masalahnya aku membiarkan dia membayarnya, aku masih bisa membelikannya hadiah kecil sebagai ucapan terimakasih. Masih banyak cara lain untuk tetap menyeimbangi.
Sepertinya aku kembali menjadi Donna yang suka melamun, untuk apa berkhayal memiliki pasangan yang seimbang? di usia 27 tahun saja aku masih menjomblo, Tuhan bantu hamba-Mu ini.
Pagi ini aku akan berangkat bekerja di salah satu pabrik makanan ringan, aku tidak bekerja sebagai buruhnya, tetapi sebagai pengawas yang bekerja di balik layar komputer.
Lima tahun sudah aku bekerja di sini dan tidak ingin berhenti, ya karena dari sinilah semua kebutuhanku terpenuhi, dan beberapa kebutuhan rumah tangga juga.
"Aku cantik, aku mandiri, semangat bekerja Donna jomblo," kebiasaanku sebelum berangkat kemanapun untuk berbicara pada cermin, yang tentunya gak akan pernah aku lepas sebagai cara untuk mencintai diriku sendiri.
Bagaimana mau mencintai orang lain kalau untuk mencintai diri sendiri saja aku tidak mampu.
Hari ini ada rapat perihal cabang baru yang ada di luar kota, aku sudah tahu polanya, biasanya akan ada beberapa karyawan yang akan dipindah kerjakan di sana. Aku sudah siap untuk mengajukan diri.
"Selamat pagi mbak," sapaku pada salah seorang rekan kerja. Entah kenapa hari ini aku sangat bersemangat bekerja, mungkin karena bekerja memaksaku untuk tidak mendengar omongan tetangga dan juga ocehan mama yang selalu bertanya perihal jodoh.
Kadang rumah gak selalu jadi tempat kita ingin pulang, gak juga jadi pelukan hangat yang paling dirindukan, malah untuk beberapa orang sepertiku misalnya menganggap rumah adalah tempat menyebalkan yang tidak pernah memberikanku kebebasan ruang untuk tetap menikmati hidup.
Sangking malasnya pulang, sering sekali aku mengambil lembur, menunggu temanku pulang bekerja meski kerjaanku sudah selesai. Kalau saja saat pulang malam tidak ada laki-laki yang menggodaku mungkin aku akan pulang lebih dari pukul 12 malam.
Rapat yang tanpa disadari sudah di penghujung, akhirnya memberikan pengumuman yang sangat aku tunggu-tunggu. Diminta 5 orang untuk mengurus kantor baru di luar kota, tentu saja tanpa banyak cerita aku mengajukan diri, semoga saja permintaanku bisa dipertimbangkan.
"Don, kenapa kamu mau dipindahin kerja sih? kamu kan tau bakal ribet nyari tempat tinggal baru, menyesuaikan diri lagi sama orang baru, dan yang lebih ribetnya lagi harus mulai semuanya dari awal lagi," ucap Siska rekan kerjaku.
"Gak papa Sis, nyari suasana baru juga, bosen lima tahun di sini aja."
"Tapi kamu gak bosen sama aku kan?“
"Ya pasti enggak lah Sis, yang ada nanti aku kangen berat sama perhatian kamu."
"Seriusan deh Don, kamu kenapa mau dipindahin sih? aku kan jadi sedih." Siska memasang wajah imutnya minta dikasihani.
"Siska kamu tau kan kalau kerjaanku sekarang deket sama rumah?"
"Tahu, kan aku pernah main dan nginep juga di sana, pas kamu lagi patah hati ditinggal sama cowok gay itu," Siska tersenyum mengingat kisah suram ku, kurang ajar.
"Nah, kamu juga udah tahu kan kalau umurku udah 27 tahun?"
"Tahu, kita kan seleting dan aku udah punya anak," ia kembali tersenyum dan memamerkan gigi yang dipagarinya itu.
"Nah itu yang buat aku pengen banget pindah Sis, kalau sampai rumah apalagi pas weekend pasti mama dan tetangga itu ngomongin status aku, yang buat aku gak kuat lama-lama ketemu mereka Sis."
"Makanya nikah Donna, kamu sih aku cariin cowok gak mau."
"Ih kamu juga sama aja kayak mereka."
"Enggak Don, aku nyarinya kan bukan duda, hehe."
Percakapan yang menyebalkan, tapi entah kenapa kalau dia yang mengejekku memang aku tidak sesakit hati saat orang lain yang bertanya kepadaku perihal pernikahan. Mungkin karena gaya bahasanya dan juga usaha dia yang memang sangat membantuku. Tidak hanya mencarikanku laki-laki yang baik dan tampan, ia juga selalu bertanya padaku apa yang aku inginkan sebelum akhirnya menemukanku dengan seorang pria.
***
Pekerjaan berjalan seperti biasanya, saat makan siang kami membicarakan banyak hal, mulai dari masa lalu saat pertama bekerja hingga soal rumah tangga mereka. Aku tidak pernah merasakan iri dengan rumah tangga mereka meski baru-baru ini saja aku bisa seperti ini, karena yang belum menikah meski umur sudah tua tidak hanya aku, ada banyak laki-laki dan juga perempuan yang belum menikah bekerja di sini, meskipun aku masih yang paling tua.
"Don, kamu gak pernah kan dapat posisi pas belum gajian, beras, gas dan susu anak habis bersamaan? itu rasanya Don, ehm nikmat tiada tara," celetuk salah seorang temanku.
"Iya Don, rasanya seperti kamu menjadi Ironman," ucap yang lain sambil dilanjutkan dengan gelak tawa yang sangat riuh, meramaikan suasana makan siang pada saat itu.
"Ya itu salah kalian juga lah, gak bisa menyediakan anggaran yang tepat setiap bulannya, untuk anak harus ada anggarannya sendiri, juga untuk kebutuhan selama sebulan, itu semua kalau terencana dengan baik pasti gak akan ada yang namanya ngutang atau ricuh-ricuh kecil dikeluarga," ucap Siska yang tampaknya lebih memahami keresahan yang dibalut dengan ledekan ini.
"Nah bener nih apa kata ibu perfeksionis, aku pernah sih nyoba cuma belum konsisten aja, tapi beneran ngaruh loh buat anggaran rumah tangga jadi lebih disiplin dan teratur."
"Aku sebenarnya tertarik masalah keuangan keluarga, meski belum berkeluarga karena melihat dua teman kita ini sepertinya sangat menyedihkan," ucap Dika yang membuka awal perbincangan masalah keuangan keluarga.
Makan siang yang singkat itu sangat berharga bagiku dan beberapa teman lainnya, kami mendapatkan ilmu bermanfaat dari ibu perfeksionis tentang masalah mengatur uang terutama saat sudah menikah. Ternyata perceraian yang marak terjadi karena masalah ekonomi bukan cuma incomenya aja yang kekecilan, tetapi juga cara mengatur uangnya yang kurang tepat.
Seharusnya sebelum menikah kita gak cuma dibimbing gimana caranya hormat kepada suami atau cara menyayangi istri, tapi juga masalah keuangan supaya bisa saling mengimbangi dalam setiap aspeknya.
Sudah seminggu aku menunggu pengumuman siapa yang akan ikut bekerja di kantor baru. Aku sudah sangat ingin keluar dari lingkungan menyebalkan ini.
Aku bosan dengan kalimat kapan menikah dan kenapa bekerja saja? Ya kenapa? Pilihanku selama ini tidak membuat mereka kekurangan beras untuk dimakan dan mereka selalu saja mengurusi pilihanku. Semua orang menyebalkan.
Terutama ibuku, bukannya menjadi support system dia malah yang paling sering membuat mood ku berantakan. Aku bahkan tidak menyukainya saat ia di rumah.
Tapi hari ini adalah pengumumannya, kalau aku tidak dipindahkan maka aku akan resign dari kantor ini.
Aku ingin mentalku sehat dan menemukan lingkungan yang tidak peduli dengan hidup orang lain, suka membantu bukan berarti suka mengatur dan mencemooh pilihan hidup orang lain.
“Selamat Donna, kamu akhirnya dipilih sebagai pegawai yang akan pindah ke kantor baru di Medan,” ucap Pak Bos sambil menatap ke arahku dan tersenyum.
“Yes,” aku mengepalkan jariku bersorak bahagia. Orang-orang di sekitarku tertawa pelan, itu sebenarnya tidak sopan, tapi siapa peduli, aku sedang bahagia saat ini.
“Dalam minggu ini selesaikan semua urusannya dan mulailah hari baru di sana seperti yang kau mohonkan selama ini.”
“Terimakasih pak,” sambil menundukkan kepalaku sebagai rasa terimakasih akhirnya ia melepaskanku dari penjara ini.
“Oiya, bos barumu nanti di sana bukan bapak, tapi ibu. Sepertinya ia akan sangat cocok denganmu, prinsip feminis kalian terlihat sama-sama mencolok.”
“Saya tidak sabar bertemu dengan beliau.”
Aku pulang dengan hati yang sangat bergembira, sepertinya Tuhan sedang ramah padaku hari ini. Semoga selalu begini.
Aku mengajak makan temanku Siska di sebuah restoran Jepang, sesekali merayakan dengan makanan mewah menurutku tidak apa, tabunganku sudah cukup untuk makanan ini dua porsi, untukku dan untuk Siska.
Kami duduk di meja yang ada di pojok restoran, sama-sama suka kesunyian dan tidak ingin obrolan orang lain mengganggu kami untuk membicarakan hal yang seru.
Tidak ada hal yang lebih menarik selain bercerita kepada Siska, sahabatku ini selain cantik, ia juga pintar dalam banyak hal, terutama tentang fashion dan make up.
“Don, ini bakal jadi makan malam terakhir kita?” ia memasang wajah sedih mengingat aku akan pergi meninggalkannya.
“Di kota ini, esok lusa kita bakal makan di tempat lain, tidak akan menjadi yang terakhir, jangan sedih aku gak mau kamu menghancurkan hari bahagiaku ini.”
Siska tersenyum dan kembali memasukkan sushi ke dalam mulutnya untuk kesekian kalinya.
Sedang asyik makan, tiba-tiba ada seorang pria yang sepertinya sudah sejak tadi memperhatikan meja kami dan kemudian menghampiri.
“Hai, maaf ganggu nih,” ucapnya pada Siska dan berlanjut menatapku.
“Iya ada apa ya mas?” Siska menjawab.
“Boleh aku meminta nomormu? Dari tadi aku memperhatikanmu dari jauh, sepertinya aku tertarik.”
Lelaki ini memang sopan tapi terlalu to the point, tidak bisakah ia berbasa basi dulu baru meminta nomor telepon Siska?
Siska langsung menggelengkan kepalanya tanpa berkata apapun, tapi ia menunjukkan cincin dijari manisnya, tanda bahwa ia sudah menikah dan tidak membuka hati untuk siapapun.
“Oh maaf, saya tidak tahu, maaf sudah mengganggu makan malam kalian, permisi.” Lelaki itu mengerti dan lekas pergi tanpa diminta dua kali.
Aku tersenyum melihat wajahnya yang awalnya sangat percaya diri namun berakhir dengan rasa malu dan memutuskan untuk pergi dari restoran ini.
“Nah, itu masih salah satu keuntungan kamu menikah Don, dijauhkan dari laki-laki yang jelek seperti itu.”
“Bukan karena menikah Siska, tapi karena cincin dijari manismu saja.”
“Cincin ini ada karena aku sudah menikah Dona,” ia menunjukkan wajah yang bingung dengan ucapanku.
“Aku juga bisa dianggap menikah kalau pakai cincin dijari manis Sis, habis ini kamu harus menemaniku membeli sebuah cincin, aku pikir caramu barusan bisa menyelamatkanku nanti jika ada lelaki yang bukan tipeku mendekati seperti yang terjadi padamu barusan.” Aku dan Sista tersenyum, ide yang tidak buruk untuk menjaga diri.
“Oiya Don, kamu ingat gak sama temen SMA kita yang nikahnya cepet itu? Si Maudi.” Siska mencomot sembarang topik percakapan.
“Inget dong, dia kan yang paling fenomenal nikahnya, lagian dia tetangga kita, gimana gak inget coba.”
“Iya fenomenal karena hamil duluan kan.”
“Dan dengan laki-laki yang lebih cocok jadi bapaknya.”
“Nah ingat kan, masa sekarang dia udah kayak mamaku loh, badannya udah melar karena udah tiga anaknya, terus mukanya kayak gak terurus gitu loh, kusam, dekil ih pokoknya gak ada yang nyangka kalau dulu dia adalah kembang desa kita.”
“Masa sih? Aku jarang keluar rumah, makanya gak pernah lihat dia.”
“Kemarin aku ketemu pas di pasar, dia nyapa aku, terus bilang gini eh ketemu Siska, gimana? Udah punya baby sekarang?” Siska mempraktekkan gestur wajahnya dan itu terlihat sangat lucu.
“Serius dia nanya itu sama kamu Sis?”
“Iya, karena ya tahu dia udah punya anak tiga, sebenernya sih lima, kan yang satu udah meninggal dan yang kecil dikasih saudaranya yang belum punya anak.”
Aku mengangguk, antusias mendengar cerita Siska.
“Terus kamu jawab apa?”
“Ya aku jawab aja belom, males banget deh ngobrol sama dia, gak asik. Terus dia juga nanyain kamu Don.”
“Tanya apaan?”
“Dia tanya gini gimana sama sahabat kamu itu? Udah dapet jodoh? Aku aja mau nikah tiga kali loh, masa dia sekalipun belum, kasihan ya.”
“Bangga sekali dia dengan kehancuran rumah tangganya, dan kalau dia bisa punya anak banyak kenapa? Bisa ngurusnya? Supaya gak punya mulut lancang kayak mamanya?” Aku menjawab dengan sedikit emosi karena merasa direndahkan.
“Sabar Don,” Siska mengelus pundakku untuk menenangkan. “Aku juga kesel, padahal aku belum hamil kan karena nunda, punya rencana untuk anak supaya bisa setidaknya terjamin dibeberapa hal.”
“Iya Sis, aku ngerti banget kamu pasti punya rencana yang baik untuk kedepannya.”
“Makanya aku bilang tadi dia itu gemuk, kusam dan jelek, soalnya dia secara gak langsung hina aku dan sahabatku sih.”
“Terus kamu jawab apa lagi Sis?”
“Aku jawab gini eh, bicaranya kok kayak gak disekolahin gitu? Yang sopan dong kalau ngomong, nanti di lihat anakmu gak baik. Pernikahan gagal dan anak pada gak bisa diurus kok bangga. Maaf ya aku gak bisa lama-lama di sini, permisi. Langsung deh aku pergi ninggalin dia yang kayaknya kesel gitu sama omonganku, padahal ya sama aku juga kesel dengan omongannya.”
“Jawaban yang bagus Sis, biar tahu rasa dia, supaya gak suka ikut campur urusan orang lain.”
Kami melanjutkan makan dan membahas beberapa topik lagi, setelah itu mencarikan cincin seperti perjanjian awal.
Setelah mencarikan barang yang dicari, suami Siskapun menelfon, memintanya segera pulang.
“Enak banget ada yang nyariin ya,” ucapku merasa iri.
“Nanti kamu juga dapet kok yang sayang sama kamu ya Don.”
“Amiin.”
Aku memutuskan mengantar Siska terlebih dahulu sebelum aku pulang ke rumahku, takut cewek cantik yang sudah punya suami ini diganggu laki-laki jahat. Kalau aku tidak akan ada yang mengganggu, percayalah.
"Semua udah dibawa Donna?"
"Sudah ma."
"Kenapa harus pindah kerja sih? mama jadi gak ada yang bantuin beberes di rumah," wajah mama terlihat murung.
"Gak papa ma, biar mandiri dan lihat dunia lebih luas lagi."
"Kita gak pisah negara Donna, dunia mana yang mau kamu lihat?"
"Ya setidaknya beberapa kilometer dari sini."
"Kamu jangan lupa makan, jangan lupa ibadah, jangan lupa.."
"Gak akan lupa mah, kalau Donna lupa makan, Donna sendiri yang akan rasain lapar, itu gak akan terjadi ma."
"Kalau ibadah?"
"Nah kalau itu mama doakan saja, supaya anak mama bisa lebih soleha dari sekarang ya."
"Amin."
Aku melambaikan tangan kepada mama yang mengantarku ke terminal kota, senyuman terakhir perempuan yang cerewet itu mungkin akan aku rindukan, selamat tinggal ma, mungkin aku akan pulang lagi ke kota ini, atau mungkin juga tidak. Kita tidak pernah tau hari esok kan.
Comments
Post a Comment