Lima

 Bis perlahan meninggalkan terminalnya, ia pasti kembali jika tugas mengantar orang-orang telah selesai di kerjakan, pun begitu nanti denganku.

Bis yang aku naiki ini perlahan melewati sudut kota yang ramai, suara klakson yang berisik dan beberapa kali menaik turunkan penumpang dan juga pengamen. Satu dua lagu yang mereka nyanyikan hampir selalu dengan lagu yang sama, hanya pengamen pertama yang aku berikan uang, yang lainnya aku memutuskan untuk berpura-pura tidur supaya tidak kehabisan uang. Maaf, mungkin kalau uangku sudah cukup dan hatiku sudah lebih luas aku akan memberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Perjalanan cukup jauh, aku sesekali tertidur, namun tidak senyaman saat tidur dengan kepala dan kaki yang sama rata. Tidur dengan posisi duduk ini sering membuat leherku merasakan pegel. Tidak mengapa, karena memang ini yang harus dijalani.

Bis berhenti untuk kesekian kalinya, nampaknya ia menaikkan seorang penumpang. Seorang laki-laki masuk dan melihat tempat duduk yang kosong dan mengarah padaku. Hanya itu yang tersisa.

"Permisi mbak," lelaki itu tersenyum kepadaku.

"Iya silahkan," aku membalas senyumnya.

"Mau ke Medan juga mbak?"

"Iya mas."

"Sama saya juga."

Aku kembali tersenyum.

"Mau pulang kampung mbak?" dia bertanya lagi.

"Enggak mas, mau kerja."

"Sama saya juga mbak." Ia tersenyum.

Sepertinya dari jawaban singkatku, ia tahu bahwa aku tidak ingin berbicara, ia mengambil ponselnya dan memasang headset mendengarkan sebuah lagu, mungkin juga sebuah podcast. Tapi dari kepalanya yang bergoyang, aku tahu sepertinya itu sebuah lagu, lagu dangdut lebih tepatnya. Entahlah aku hanya menebak.

Bis terus berjalan, kembali menampilkan jalanan yang ramai, suara klakson yang berisik dan beberapa kali melewati pepohonan. Akhirnya bis berhenti, waktunya makan. Aku pun turun dengan penumpang lainnya termasuk laki-laki di sebelahku.

Aku memesan makanan yang cukup banyak, aku lapar sejak tadi lama sekali bis ini berhenti, aku tidak membawa cemilan karena sering mabuk kalau di bis sambil makan atau bermain ponsel.

"Banyak banget makannya mbak? emang perutnya muat?" tanya laki-laki yang membawa makanannya duduk di sebelahku.

"Eh iya mas, laper banget soalnya."

"Perempuan kok makannya banyak sih? baru kali ini loh saya lihat perempuan makannya banyak kayak kuli bangunan." Ia tertawa.

Apa dia bilang? kuli bangunan? "Oh baru kali ini keluar dari kampung ya mas?"

"Iya mbak."

"Pantes baru lihat perempuan yang makanya banyak. Baru kali ini mainnya jauh."

Ia mengernyitkan dahinya, seperti merasa disindir, memang aku sedang membalikkan ucapannya barusan.

"Oh mbaknya udah keliling dunia ya?"

"Belom."

"Berarti sama juga dong kayak saya, gak jauh mainnya." Ia sepertinya ingin balas dendam dengan ucapanku barusan.

"Enggak sama mas, saya punya ponsel pintar yang saya gunakan untuk mencari informasi tambahan, menarik dan juga penting. Bukan untuk sekedar posting foto dan pamer."

"Oh begitu, kalau mbak tidak senang dengan saya, saya akan pergi dari meja ini. Dan juga tempat duduk di bis nanti."

Lelaki itu tampaknya marah denganku karena mungkin menurutnya aku tidak sopan. Biarkan saja, aku tidak peduli.

"Silahkan, dengan senang hati." Aku tersenyum dan kembali melanjutkan makan.

Lelaki itu pergi ke meja lain untuk melanjutkan makannya juga.

Setelah tiba di meja sebelah, entah apa yang dia bicarakan pada orang di meja itu, tiba-tiba satu meja menatapku dengan tatapan yang aneh, mungkin mereka akan berpikir bahwa aku perempuan yang sedang datang bulan. Katanya begitu, perempuan yang menyebalkan biasanya sedang ada tamu bulanan. Sekali lagi aku tidak peduli.

Aku habiskan makananku dan membayarnya, cukup mahal untuk dua potong ayam yang kecil. Aku beranjak masuk lagi ke dalam mobil, disusul satu dua hingga mobil pun dipenuhi penumpang lainnya, tapi tunggu, mas mas menyebalkan tadi belum ada di dalam bis. Benar, aku menunggunya, untuk melihat di bangku mana ia akan duduk.

Tidak lama, laki-laki itu akhirnya masuk ke dalam bis, ia melihat kanan dan kiri mencari bangku yang kosong. Aku pura-pura tidak memperhatikannya.

Ia duduk lagi di sebelahku.

"Loh, katanya mau pindah," tanyaku sambil tersenyum jahil padanya.

"Kamu gak lihat semuanya penuh?" ucapnya kesal.

"Aku lihat, bahkan sebelum kita turun makan tadi, aku sudah tahu kalau tidak ada bangku yang kosong." Aku tertawa pelan. Lucu sekali melihat wajah lelaki ini malu dengan ucapannya yang sok itu. Mukanya sekarang memerah dan diam, ia memalingkan wajahnya ke sebelah kiri, entah apa yang ia lihat, aku tidak peduli.

Satu hingga beberapa jam ke depan tidak ada percakapan antara kami berdua, aku tidak sedang ingin mengobrol, dan ia tampaknya masih malu dengan kejadian di rumah makan tadi.

Bis kembali berhenti, menurunkan satu penumpang perempuan yang membawa bayinya. Tepat saat ibu itu turun dari bis, lelaki di sebelahku pergi dari tempat duduknya dan pindah ke tempat duduk ibu tadi.

Syukurlah, aku bisa meletakkan tas ku di tempat duduk yang satunya lagi.

Aku tidak suka dengan orang baik itu laki-laki atau perempuan yang suka mengkotak-kotakkan seseorang. Memangnya perempuan harus makan sedikit? dan cuma kuli bangunan yang makannya banyak? yang kutahu mau perempuan atau laki-laki, mau kuli bangunan atau seorang dokter, kalau ia lapar, ia akan makan dan kalau ia ingin makan ia bisa dan boleh saja makan dengan porsi yang banyak, selagi ia bisa bertanggungjawab dengan pilihannya mengapa tidak? selagi makanan yang ia ambil habis dimakan dan ia bisa membayarnya, kurasa semua orang berhak melakukan apapun.

Ia seperti mamaku yang banyak aturan, dan jangan lupa tetanggaku, sama saja. Perempuan harus begini dan laki-laki tidak boleh begitu. Padahal selagi ada tanggungjawab apapun pilihannya seharusnya tidak memberatkan siapapun, meskipun hanya omongan, kadang itu sangat menyebalkan.

Di rumah biasanya mama bisa merepet saat aku makan banyak, katanya nanti aku gemuk, dan gak ada laki-laki yang mau dengan perempuan gemuk.

Bahkan soal makan saja kita diatur supaya bisa menyenangkan hati laki-laki.



Comments

Popular posts from this blog

Sesusah Apa Sih Skripsi itu?

Tentang Berproses

Apa Bener Kalau Perempuan Banyak Temen Pria Jadi Murahan?