Satu
Kulihat cermin untuk memastikan penampilanku untuk kesekian kalinya. Dress berwarna biru ini sangat cocok dengan warna kulitku yang cerah, Mas Raka tahu betul apa yang aku sukai.
Di ulang tahunku kemarin, ia memberikanku dress cantik ini, aku sangat menyukainya. Menyukai apa yang diberikan dan si pemberinya juga. Sungguh bahagia sekali rasanya saat itu.
Selalu ada kejutan setiap harinya dari dia, aku yakin dia memang untukku, semoga waktu cepat berlalu dan menyatukan ragaku dengan raganya.
Hari ini aku akan bertemu dengan kekasihku, kami sudah menjalani hubungan sejak lima tahun lalu, dan merencanakan pernikahan di akhir tahun, aku sangat bahagia. Kilau dari benda yang melingkar di jari manisku ini adalah bukti bahwa aku memang sebahagia itu memilikinya.
Benar sekali, aku sudah dilamar kekasihku di sebuah restoran di hari valentine, kurang romantis apa lagi calonku ini? Benar-benar idaman sekali. Ia menyimpan cincin yang sangat indah itu di dalam sebuah kue kesukaanku, untung saja tidak aku telan cincinnya. Aku menemukan wajahnya yang menantikan sesuatu, awalnya aku tidak tahu, tapi saat aku memotong kuenya, cincin itu menampakkan wujudnya.
Bagaimana aku tidak terkejut, ini sungguh malam yang sangat indah bagiku selama hidup, aku diperlakukan seperti ratu olehnya, bahagianya aku saat itu tidak bisa lagi diibaratkan hanya seperti bunga yang bermekaran.
Tampaknya sudah ada suara klakson di depan rumahku, aku yakin pasti itu dia Mas Raka. Aku pun lekas keluar untuk menemuinya.
"Hai Mas, mau masuk dulu? Atau langsung berangkat? Aku udah siap kok," ucapku pada Mas Raka.
"Izin dulu sama mama dong sayang," sambil mengelus rambutku, ia masuk ke dalam untuk mencari mama.
"Ma, Raka mau pergi keluar dulu ya sama Donna, mama mau dibawain apa nanti kalau kami pulang?" tanya Mas Raka pada mama.
"Apa ya, kayak biasanya aja lah Ka, mama lagi gak kepengen yang aneh-aneh, " jawab mama sambil tersenyum.
Mas Raka lalu menyalami mama dan menggandeng tanganku setelahnya. Mas Raka memang sudah mengambil hati mamaku, mama selalu percaya kalau aku pergi sama Mas Raka, karena Mas Raka selalu meminta izin dan tentunya membawakan oleh-oleh makanan kesukaan mama.
Mas Raka adalah lelaki pertama yang aku kenalkan kepada mama, dan untungnya langsung cocok. Alhamdulillahnya lagi karena Mas Raka sudah melamarku dua bulan lalu, mama semakin yakin kepadanya, ya meskipun belum ada lamaran antar kedua belah keluarga. Tetapi menurutku ini sudah jauh lebih baik.
"Kita mau ke mana hari ini Mas?" Tanyaku penasaran.
"Kita mau ke suatu tempat yang bagus banget, pasti kamu suka deh."
"Iya Mas, nama tempatnya apa?"
"Tempatnya nyaman kok."
"Namanya sayang, namanya," tanyaku mulai kesal.
"Iya, aku juga sayang kok samamu."
"Mas."
"Iya sayang." Sambil melihatku dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kamu gak mau kasih tau aku?"
"Biar jadi kejutan sayangku." tangannya meraihku untuk digenggam.
Bagiku genggamannya ini selalu menenangkan risauku, Mas Raka memang pandai mengambil hatiku.
Ternyata perjalanannya cukup jauh, aku sudah sedikit mengantuk hanya duduk di dalam mobil.
Sandiwarakah selama ini?
Setelah sekian lama kita telah bersama
Inikah akhir cerita cinta
Yang selalu aku banggakan di depan mereka?
Entah di mana kusembunyikan rasa malu
Sebuah lagu sengaja di putar oleh Mas Raka untuk membuatku lebih mudah tertidur, ia tahu betul apa yang membuatku terlelap. Lagu-lagu dari Glen Fredly ini selalu menjadi musik yang aku dengarkan untuk memejamkan mataku.
Dia adalah sosok lelaki yang selalu mengertiku, bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kalinya dia marah kepadaku, yang selalu aku ingat adalah kesabarannya menghadapi tingkahku yang seperti anak kecil.
Usia memang tidak pernah bohong, ia yang lebih tua lima tahun di atasku selalu punya cara untuk membuatku bahagia setiap harinya.
Ia bekerja di salah satu perusahaan dari senin hingga jumat, dan selalu meluangkan waktu untuk menelfonku sehabis isya dan mengajakku keluar dihari minggu atau sabtunya.
Ia lelaki dewasa yang tidak ingin menghabiskan banyak waktu untuk hal yang tidak penting. Kami sangat jarang berkomunikasi lewat pesan, karena Mas Raka tidak menyukai itu, katanya itu gaya pacaran anak-anak SMP, ia lebih senang jika kutelfon dan berbicara mengenai apa yang ia dan aku kerjakan dalam seharian.
"Dek, bangun sayang," sambil mengelus kepalaku Mas Raka membangunkanku dengan sangat lembut.
Ternyata sejak pertengahan jalan tadi aku sudah tertidur sangat pulas, apalagi kalau bukan karena musik dari Glen yang sangat menenangkan.
"Emm udah sampai yaa Mas?"
"Belum sayang, Mas mau ke kamar mandi dulu, kamu mau ikut atau di sini aja?"
"Aku mau beli jajan aja Mas buat ngemil di jalan," jawabku sambil menunjukkan deretan gigiku kepadanya.
"Makan terus, gimana gak gemoy kayak gitu," ejek Mas Raka padaku sambil mencubit pipiku.
"Iih, sakit tau!"
"Biarin wlee," ia pun dengan lucunya menjulurkan lidahnya padaku.
"Nanti Mas jemput di sini yaa, belanja yang banyak, ini dompet Mas."
"Eh gak usah, kan Donna punya uang juga Mas."
"Gak boleh gitu sayang, kamu kan pergi sama Mas, udah ni bawa aja."
"Tapikan Mas.."
"Yaudah deh bawel ini bawa aja." Paksa Mas Raka sambil memberikan dompetnya.
Ia pun tersenyum bahagia melihatku yang selalu kalah menuruti apa yang ia mau. Sebenarnya aku sangat tidak nyaman dengan hubungan yang sedikit patriarki ini, bagiku hubungan yang sehat adalah hubungan yang seimbang, meski tidak benar-benar seimbang, tapi seharusnya kedua belah pihak mengeluarkan usaha yang sama, supaya tidak memberatkan sebelah pihak saja.
Tapi Mas Raka tidak pernah mau jika aku menginginkan hal ini, mungkin inilah satu-satunya permintaanku yang tidak akan pernah diwujudkannya.
Selesai berbelanja, kamipun melanjutkan perjalanan dengan masih memutar lagu dari penyanyi yang sama.
"Masih jauh Mas?"
"Enggak sayang, bentar lagi sampai kok, sabar ya manisku."
Memang benar apa yang diucapkannya, tidak lama dari pertanyaanku tadi, kami telah sampai di tempat yang sangat indah.
Tempat yang ditumbuhi banyak bunga-bunga bermekaran, sangat cantik dengan warna yang berbeda-beda.
Hijaunya lahan disini membuatku tidak berhenti menatap betapa indahnya suasana yang dihadirkan ini. Tidak jauh dari bunga yang harum semerbak itu, terdapat danau yang sangat bening sekali.
"Mas, tempatnya cantik banget."
"Tapi masih kalah cantik dari kamu."
Aku pun hanya tersenyum malu kepadanya.
"Dek, mau naik ini gak?" Ia menawarkan ayunan kepadaku.
"Aaa, mau Mas."
Aku pun berlari menuju ayunan yang ditawarkan itu, kemudian kunaiki ayunan itu dengan penuh semangat.
"Kamu suka gak?" tanyanya padaku.
"Ya kali gak suka Mas, rumputnya hijau semua, bunganya banyak, ada ayunannya, nanti kita gelar tikarnya di situ aja Mas, di bawah pohon itu."
Pohon besar yang menutupi sinar matahari masuk ke dalamnya sangat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat untuk bersantai sambil memandangi danau yang begitu jernih.
Ayunan yang ia goyangkan itu membuatku merasa sangat bahagia, Mas Raka memang selalu memperlakukanku seperti ratu yang paling bahagia di dunia ini.
Setelah bosan bermain ayunan, kamipun memutuskan untuk duduk di bawah pohon tadi dan bersantai menikmati suasana surga ini.
"Enak gak kuenya Mas? Aku yang buat loh.”
"Masak sih? Gak percaya Mas, palingan mama yang ngajarin, kamu cuma bantu pecahin telur aja kan?"
"Ih gak percayaan, aku tuh mau jadi ibu yang pintar buat kue nanti untuk anakmu, biar gak jajan sembarangan."
"Anak-anak kita sayang."
"Lah iya sama aja Mas."
"Ya beda dong, kalau anak itu satu, Anak-anak itu banyak."
"Emang mau punya berapa?"
"Lima." Jawabnya singkat.
"Banyak banget Mas," aku terkejut dengan ucapannya barusan.
"Jadi maunya berapa sayang?" Ia pun mendekatkan wajahnya padaku untuk merayuku.
"Aduh kenapa jadi deg degan gini sih" Batinku merasakan hal yang sedikit canggung.
"Berapa sayang? Kok gak dijawab?" ia terus menggodaku.
Ku dorong wajahnya dariku supaya aku lebih tenang dalam menjawab pertanyaannya.
"Iya terserah aja."
"Kok mukamu merah sih? Malu yaa?"
"Mas jangan gitu dong."
Dia pun tertawa puas melihatku salah tingkah akibat dari perlakuannya itu.
Begitulah Mas Raka, selain bisa membuatku tertawa dengan candanya, ia juga bisa sangat romantis dan membuatku salah tingkah. Aku memang seberuntung itu mendapatkannya.
Hari pun sudah perlahan menjatuhkan mataharinya, sudah sore. Kami akhirnya memutuskan untuk kembali pulang sebelum ibu menelfonku.
"Mas makasih ya waktunya dan semua yang kamu kasih untuk hari ini," ucapku saat mobil sudah sedikit menjauh dari tempat kenangan tadi.
"Iya sayang."
Perjalanan sedikit agak canggung karena bahagia dalam hati yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tiba-tiba Mas Raka menghentikan mobilnya dan menatapku dengan sangat dalam.
"Mas kenapa berhenti?" tanya ku kebingungan.
Sambil menggenggam tanganku dan mengelusnya.
"Mas sayang kali sama Donna, jangan tinggalin Mas ya sayang."
"Enggak akan Mas." jawabku
Ia pun mendekatkan tubuhnya padaku, sangat dekat hingga aku bingung harus melakukan apa.
Tanganya berpindah menyentuh pipiku dan menyingkirkan anak rambutku di sana.
Tatapannya sangat dalam, seolah menginginkan sesuatu dariku.
Mataku perlahan-lahan mulai tertutup, seolah-olah mengerti apa yang selanjutnya akan terjadi.
Ia menjatuhkan bibirnya tepat di bibirku, dan mencium ku dengan sangat lembut, dan entah mengapa aku merasa sentuhan itu cukup di situ, aku memalingkan wajahku untuk menghindarinya.
Suasanapun menjadi lebih canggung lagi, dan hanya ada suara musik yang tenang.
Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa, jujur saja hatiku sangat tidak menentu, aku senang dan juga bingung dengan apa yang barusan terjadi.
"Donna." Suara mama memanggilku, membuatku terbangun dari lamunanku akan masa lalu yang begitu indah.
Setahun sudah berlalu, aku tidak menjadi Nyonya Raka ataupun Nyonya lainnya, sedangkan usiaku sudah menginjak 27 tahun dan masih belum memiliki kekasih setelah Mas Raka meninggalkanku dengan cara yang tidak pernah aku sangka sebelumnya.
Comments
Post a Comment