Antara Anak dan Orang Tua, Siapa yang Wajib Membahagiakan Siapa?

 Beberapa waktu lalu kepala saya dipusingkan dengan siapa yang harus membahagiakan, apakah orang tua wajib membahagiakan anak atau anak yang wajib membahagiakan orang tua atau seharusnya kita bertanggungjawab atas kebahagiaan kita sendiri? 



Lalu pertanyaan lainnya yang muncul adalah: anak itu gak pernah minta untuk dilahirkan, memiliki anak adalah diskusi antara suami dan istri yang seringnya alasannya adalah memang masyarakat biasa mengajarkan demikian atau ingin dirawat semasa tua. 


Satu sisi gak bisa dong menyalahkan masyarakat yang sudah bertahun-tahun hidup dengan role seperti itu, dan sisi lain keinginan para orang tua yang punya anak supaya dirawat saat  tua itu egois gak sih? Dengan dalih sudah merawat sejak kecil mereka merasa bahwa wajib bagi anak membahagiakan atau merawat mereka saat tua, padahal kan anak gak minta dilahirin, yang minta anak ya orang tua maka wajib bagi mereka untuk membesarkan dengan penuh kasih dan sayang. 


Saya pernah tanya dengan teman teman saya tentang hal ini lalu jawaban mereka kebanyakan adalah bahwa anak anak wajib membahagiakan orang tua mereka sebagai bentuk balas budi usaha orang tua sejak dulu membesarkan anak anaknya. Kalau setiap tindakan harus ada balas budi di masa mendatang, di mana arti ketulusan sesungguhnya? 


BACA JUGA Apakah Kamu Termasuk Orang yang Tulus?


Saya sebenarnya tidak pernah berhenti memikirkan ini, karena setiap pertanyaan yang belum ada jawabannya akan selalu mengganggu. 


Hingga satu video yang mengulas beberapa perspektif menjawab pertanyaan saya tersebut, dan saya rangkum dalam beberapa poin berikut. 


1. Kalau saya seorang yang memutuskan untuk memiliki anak dan menjadi orang tua nanti, saya berkewajiban untuk membahagiakan anak anak saya karena bentuk tanggung jawab saya sebagai alasan mereka lahir ke dunia yang sangat sangat tidak damai bagi hampir semua orang. 

Tapi kebahagiaan ini masih dalam perspektif saya yang punya banyak latar belakang dalam menentukan kebahagiaan itu sendiri. 

Ketika anak saya sudah cukup usia dan pemikiran nantinya, saya akan ajak ia berdiskusi tentang apa sebenarnya yang membuatnya merasa bahagia, apakah masih perlu saya di dalamnya atau tidak. Saya akan membiarkan ia menemukan kebahagian versi terbaik dari dirinya sendiri, kalaupun suatu saat ia memilih jalan yang berbeda dari yang sudah saya ajarkan. 

Sebagai orang tua, sulit memang melihat anak tumbuh dengan tidak seperti yang kita harapkan, tapi kalaupun ia memilih agama, negara, pasangan dan cara hidup yang berbeda dengan saya (selagi tidak merugikan orang lain) saya pikir itulah saatnya bagi saya membebaskan dia menjadi pribadi utuh yang benar-benar mandiri, meskipun pilihannya adalah tidak merawat saya saat tua. Karena saat tua saya bisa saja memutuskan untuk menggunakan dana pensiun saya untuk hidup, hidup dengan rang tua lainnya di panti jompo dan menguji bahwa keinginan saya untuk memiliki anak bukan alasan bagi saya untuk menjadi egois dan merasa berhak atas segala-galanya. 

Intinya kalau saya menjadi orang tua saya akan mengusahakan kebahagiaan anak selama ia belum bisa memilih bahagianya sendiri. 


2. Selagi saya menjadi anak, saya akan menentukan sendiri bahagia saya bukan pada orang tua saya, tapi untuk membahagiakan mereka juga bukan tanggung jawab saya. Barangkali ucapan ini keluar dari seorang anak yang punya masalah dengan cara orang tua membesarkan saya. 

Saya tetap patuh, saya tetap bertanggungjawab atas finansial keluarga selagi saya mampu, tapi untuk memprioritaskan kebahagiaan mereka di atas yang saya prioritaskan adalah sesuatu yang tidak akan saya lakukan, kenapa? Karena membahagiakan diri sendiri saja sudah sulit apalagi membahagiakan orang lain? Lagipula mereka kan sudah hidup lebih lama pasti seharusnya sudah belajar caranya bahagia. Atau dengan melihat saya bahagia mereka juga bisa menjadi bahagia. 

Bisa jadi prioritas saya sudah termasuk bagian yang membuat orang tua saya bahagia, Ya syukur, berarti tanpa harus pusing pusing kami sudah mencapai tujuan yang sama meski tidak direncanakan. 


BACA JUGA Tentang Bahagiain Orang Tua


Tulisan ini bisa saja menjadi kalimat yang lebih diharapkan bagi banyak orang tua, kalau bukan saya yang menulisnya, artinya akan ada banyak sekali perspektif bergantung dari latar belakang si penulis. 


3. Kalau saya melihat orang lain, antara anak atau orang tua mana seharusnya yang wajib membahagiakan? 

Diri sendiri, kita punya definisi bahagia kita sendiri, kita yang tahu rasanya bahagia itu seperti apa, Lalu mengapa orang lain yang mengusahakan itu? 


Bagi saya, orang tua dan anak adalah satu pribadi utuh yang punya jalannya masing-masing, maka dari itu, jangan mengganggu jalannya orang lain termasuk anak. Karena anak itu manusia utuh miliki Tuhan bukan hanya milik orang tua. 

Kalau ada anak yang ingin membahagiakan orang tuanya, ya silakan, asal jangan dengan  berharap harta warisan, tapi kalau berharap juga terserah. Pun gitu sama orang tua, kalau kalian punya misi tersendiri dengan punya anak, ingat punya anak gak serta merta anda memiliki semua muanya tentang anak. 

Comments

Popular posts from this blog

Yakin mau Boikot Produk Prancis?

Cara Mengkhatamkan Al-Qur'an Tanpa Khawatir Datang Bulan dan Hambatan lainnya

Macam-macam alat penahan Menstruasi pada wanita