Taqdir Tuhan

 Apa sih yang kalian pikir saat pertama kali mendengar kata TAKDIR?




Ketentuan Tuhan? Sesuatu yang nggak bisa dirubah? Sesuatu yang harus diterima gimanapun kondisinya?

Kalau iya, jadi ketentuan Tuhan yang mana yang sudah kita terima dan tidak ada niatan untuk merubahnya?

Eh kayaknya kecepatan gitu yaa? Hmm mulai dari ketentuan dulu kali yaa.

Baca juga  Bagaimana Cara Mengidentifikasikan Diri Mengalami Mental Ilness

Apa aja sih yang masuk dalam ketentuan Tuhan?

Tubuh? Orang tua? Kondisi sosial dan ekonomi? Masa lalu?

Apa lagi? Kalau ada yang tahu komen yaa.

Lanjut yaa 

Sekarang coba deh tanya sama diri sendiri udah belum sih menerimanya.

Misal nih tubuh kamu, kamu yakin udah nerima tubuh kamu yang sekarang? Kulit yang berjerawat, rambut yang keriting dan egois (gak berteman antara satu helai dengan helai lainnya), warna kulit yang gelap, tahi lalat yang banyak, lemak yang bejibun? Tubuh yang terlalu rendah? Hmm gak akan ada habisnya kalau ngomongin kekurangan.

Jadi gimana udah bisa nerima?

Baca juga

Alasan Mengapa Pelarangan Penggunaan Kata Anjay

Tentang orang tua. Emak yang selingkuh, bapak yang berkhianat, orang tua yang pisah, yang mati, yang kasar, yang miskin, yang jelek, yang suka bandingin sama anak tetangga.

Gimana udah bisa nerima?

Tentang masa lalu. Pernah dilecehkan, diduain sama sahabat sendiri, ditinggal pas sayang-sayangnya, difitnah sama temen sendiri, dibohongin, dianiaya, dijebak.

Masih ingat? Masih trauma?

Apa kita bisa nerima itu semua? Mungkin gak semua, setidaknya setengah atau seperempatnya. Udah bisa nerima? Yakin? Gak merubah?

Kalau kita percaya takdir Tuhan itu ada. Apakah kita benar-benar meyakininya? Maksudku dalam kehidupan sehari-hari kamu gak pernah mempermasalahkan perihal dadamu sebagai perempuan yang gak rata, kulitmu yang gelap, orang tua yang miskin, dan masa lalu kita semua.

Yakin gak ada keinginan buat merubahnya? 

Kulitmu gelap loh. Yakin beli skincare an buat menjaga dan merawat kulit? Bukan untuk memutihkan kan? Kuharap begitu.

Yakin gak pernah lagi ngomong "seharusnya" lagi sama yang udah terjadi?

Seharusnya aku gak pernah percaya dia yang udah khianatin aku.

Seharusnya aku gak ngelakuin hal itu supaya sekarang aku bisa kayak yang lain.

Kuharap kita semua bisa menanyakan hal-hal itu semua kepada diri sendiri dengan jujur. 

Sudahkah kita semua menerima takdir?

Baca juga

Perihal Usia

Menurutku rakdir bukan hanya pemberian Tuhan, tapi juga setiap pembelajaran dari pilihan kita sendiri ataupun orang-orang disekitar kita.

Memang miskin bukan takdir karena kita bisa merubahnya dengan bekerja keras. Tapi sudahkah kita menerima bahwa orang tua kita memang terlahir bukan pada keturunan yang darahnya gak merah?

Orang tua yang berpisah, masuk penjara, pakai narkoba, selingkuh. Memang bukan kita yang menjadi tokoh utamanya. Tapi apakah kita sudah menerima bahwa mereka adalah bagian dari pelengkap hidup kita?

Apakah kita punya perasaan untuk tidak ingin menjadi bagian dari hidup mereka? Jadi apakah kita mempercayai yang namanya takdir?

Bagiku, takdir adalah bentuk penerimaan yang bijaksana atas pemberian, kejadian dan pilihan.

Kita secara sadar menerima tubuh kita, tidak memiliki niat untuk merubah, menghina, menghindari dan tidak menyukai bagian tubuh itu sendiri. Itu baru percaya takdir.

Kita secara sadar dan menerima serta tanpa canggung menceritakam keadaan sosial ekonomi keluarga. Bukan untuk mendapatkan empati, tapi sebuah kejujuran dari hati. Itu baru percaya namanya takdir.

Kita secara sadar dan menerima bahwa dahulu kita pernah salah, pernah berkhianat, pernah berbohong untuk memperlihatkan betapa kita selalu belajar dari setiap kejadian. Bukan untuk memperlihatkan aib, tapi untuk menerima bahwa semua sudah berlalu dan memberikan hikmah bagi kita. Itu baru percaya pada takdir.

Bagiku menerima takdir sesederhana kita mampu berkata jujur pada apa yang sudah terjadi dan menerimanya sebagai manusia yang selalu belajar.

Bagimu takdir itu apa? Silahkan berbagi di kolom komentar yaa. 

Comments

Popular posts from this blog

DERANA

Maharnya Perempuan Berpendidikan

Quarter Life Crisis